Imam Syafi’i pernah berkata, tidak ada istilah santai dan diam untuk orang yang memiliki akal dan adab. Maka tinggalkanlah kampung halamanmu dan merantaulah. Merantaulah, niscaya engkau akan mendapatkan pengganti bagi orang yang engkau tinggalkan. Berusalah, karena nikmatnya hidup dirasakan setelah melalui kelelahan. Petuah ini yang aku ingat sebelum pergi meninggalkan rumah dan memutuskan untuk menjadi perantau. Tinggal di Malang, Yogyakarta, Bali, Jakarta Selatan, dan akhirnya ke Pontianak. Entah kenapa dulu pas kuliah S-1, aku pengen banget ke Kalimantan, bagian mana aja. Bahkan setelah tamat SD, aku sudah merantau. Padahal aku bukanlah lelaki dengan mental yang kuat, overthinking, dan segala sesuatu yang membuat buntu perjalanan merantau, dulunya. Ah, bismilaah. Merantau akhirnya membentuk pola pikir, pengalaman yang tak tergantikan dan tentunya developing diri kita sendiri. Walaupun, bagi setiap perantau pasti tidak mudah untuk bisa survive di negeri orang. Memulai kehidupan baru, ketemu budaya yang asing dan beradaptasi dengan budaya baru tersebut. Tapi percayalah, selalu ada kebaikan yang Allah titipkan ke manapun kita pergi merantau. Apalagi sendirian. To travel is to find our self-whole. Merantau ternyata adalah sebuah usaha untuk betul-betul menemukan diri kita yang kita cari selama ini.
Lalu, bagaimana nasib rumah? Ibu dan segala kenangan tentang rumah?
Aku tetap akan bilang bahwa selalu ada tempat di hati kita dan puisi indah untuk seorang Ibu. Sampai kapan pun, sayang seorang Ibu tidak akan pernah berkurang meski anaknya harus jauh atau bahkan hilang sekali pun. Setiap Ibu pasti mau melihat langkah anaknya untuk berusaha dan pulang membawa bahagia. Siapa bahagianya seorang Ibuk? Ya anaknya. Ibu akan baik sampai kapan pun, sebab Ibu adalah sosok yang tidak akan pernah berubah, rumah adalah tempat yang paling dirindukan, masakan Ibu adalah menu terbaik di dunia, dan pelukan seorang Ibu menentramkan selamanya. Mengobati luka-luka yang bisa jadi selama ini belum bisa disembuhkan. Ibu, rumah, dan segala kenangan tentangnya akan menjadi memori indah yang menguatkan untuk tetap dikenang dan menyemangati kita hidup di perantauan, kan?
Perantau tidak boleh cengeng. Harus selalu siap dengan segala pelik di balik deru biru senang dan sedih hidup di perantauan. Banyak hal yang sudah aku temui dan itu menjadikan mental aku begitu terasah sekarang. Tentang senioritas, tentang menghadapi fake people around me, tentang tekanan demi tekanan yang datang untuk mendewasakan. Aku kira dulu aku akan menyerah saja dengan keadaan. Tapi, nyatanya aku kuat. Dengan banyaknya kejadian demi kejadian yang aku alami, bahkan kini bisa hidup lebih tenang, kalem menghadapi kenyataan. Tidak se-panik dulu. Mana boleh cengeng, pertama hidup di rantau tanpa sepeda motor, tanpa kasur, tanpa kipas angin dengan cuaca di Pontianak yang astagfirullah, dan finansial yang serba terbatas. Day by day, sampai juga di fase hidup enak. Semuanya serba enak. Orang-orang bertanya kenapa tidak beli kasur? Dulu pas awal merantau ke Pontianak, gajinya tidak sebesar gaji sekarang wkwkwk. Tidur tiap malam beralaskan seprei di atas papan dengan tangan kanan megang bagian kardus untuk ngipasin diri biar nggak kepanasan. Tiap bangun pagi harus mandi dulu karena basah mandi dengan keringat. Pergi kemana-mana mengandal tebengan orang atau jalan kaki. Tapi, adik kosku baik-baik, mereka selalu bersedia menjadi ojek untukku.
Aku ingat banget Ibuk bilang, nggak ada hidup yang langsung enak, Nak. Setiap kita harus melalui fase susah dulu sebelum memperoleh kemudahan.
Ibuk adalah rumah yang pertama kali kita kenal dalam hidup ini. Sejak kita pertama kali membuka mata, dialah yang menjadi tempat kita pulang, baik secara fisik maupun emosional. Rumah bukan hanya tempat kita berteduh, tapi juga tempat kita belajar cinta, kesabaran, dan kekuatan yang tak terlihat. Ibuk adalah rumah yang tak pernah jauh dari kita, meskipun jarak dan waktu mungkin memisahkan. Ibuk juga yang sudah selalu menguatkan untuk bertahan, meski dunia terlalu keras, terlalu banyak tekanan. Petuahnya tentang hidup tidak pernah habis.
Kenangan tentang ibuk sering kali hadir dalam setiap sudut rumah. Dapur yang selalu hangat dengan aroma masakan yang penuh kasih sayang, ruang tamu yang penuh canda tawa, atau kamar yang selalu menjadi tempat perlindungan ketika dunia terasa berat. Ibuk mengajarkan kita untuk merasakan rumah bukan hanya sebagai bangunan, tetapi sebagai tempat di mana cinta tumbuh tanpa syarat.
Kadang, kita lupa bahwa rumah yang sesungguhnya adalah tempat di mana hati kita merasa damai, dan ibuk adalah pusat dari semua itu. Dalam pelukannya, kita merasa terlindungi dari segala kegelisahan. Dalam senyumnya, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati tak terukur dari apa yang kita miliki, tetapi dari rasa syukur atas apa yang telah diberikan.
Meskipun waktu terus berjalan, dan rumah mungkin berubah bentuk atau bahkan kita terpisah oleh jarak, bahkan kepemilikan, kenangan tentang ibuk akan selalu menjadi pijakan dalam hidup. Setiap keputusan yang kita buat, setiap langkah yang kita ambil, adalah hasil dari kasih sayang dan keteguhan yang ibuk tanamkan dalam diri kita. Bahkan ketika kita jauh, perasaan pulang selalu ada dalam diri kita, karena rumah sejati adalah hati ibuk yang selalu terbuka, selalu menerima, dan selalu mengingatkan kita untuk kembali ke asal-usul kita.
Saatnya kita untuk lebih menghargai setiap momen bersama ibuk, karena di balik setiap kebahagiaan yang kita nikmati hari ini, ada doa, pengorbanan, dan cinta tulus dari seorang ibuk yang membentuk kita menjadi siapa kita sekarang. Rumah bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi tempat di mana cinta pertama kali tumbuh—di dalam pelukan seorang ibuk.
Juga tentang Bapak.
Meskipun bapak punya porsi hanya sebagai orang ke-4 di hidup kita setelah Ibuk, Ibuk, Ibuk. Bapak adalah pondasi dari rumah yang kita kenal. Lebih dari sekadar sosok yang hadir dalam kehidupan kita, bapak adalah simbol keteguhan, perjuangan, dan cinta yang tak terlihat. Rumah yang kita tinggali, dengan segala kenangan di dalamnya, tak lepas dari jejak langkahnya yang telah mengukir banyak cerita. Di balik tawa dan kegembiraan, selalu ada perjuangan dan pengorbanan yang membuat rumah itu terasa lengkap. Walau Bapak lebih gengsi menampilkan kasih sayangnya kepada kita, tapi jauh di hati seorang Bapak, ada ribuan cinta dan kasih sayang yang akan selalu diwujudkan dalam bentuk perbuatan untuk anak-anaknya.
Kenangan tentang bapak hadir dalam berbagai bentuk yang kadang tak terucap, tetapi selalu terasa. Mungkin itu adalah suara langkah kaki di malam hari, ketika ia pulang setelah bekerja keras untuk keluarga. Atau mungkin aroma kopi yang ia buat di pagi hari, yang selalu menyegarkan, sekaligus menenangkan. Rumah menjadi lebih berarti karena bapak ada di sana—menjadi pelindung, pembimbing, dan teladan yang kita harapkan bisa mengarahkan kita dalam setiap langkah hidup. Kini aku rasanya menjadi seorang Bapak, ah, speechless. (Nak, aku memang tidak mengandungmu, tetapi ada tulangku yang patah setiap hari demi memenuhi besarnya cintaku untukmu. Kehidupan di luar rumah itu terlalu kejam untukku, Nak. Tapi semua akan aku usahakan demi kamu. Aku bahkan sudah tidak punya waktu untuk memikirkan dirimu sendiri, Nak). Ah, Bapak bolehkah kami menangis, sebentar saja.
Bapak mengajarkan kita untuk kuat, untuk berdiri tegak meski badai datang menghadang. Ia mungkin tak selalu mengungkapkan kata-kata lembut, tetapi melalui setiap tindakan dan keteguhannya, ia mengajarkan kita arti kesabaran, kerja keras, dan tanggung jawab. Dalam heningnya malam, dalam kesunyian rumah, kita belajar bahwa cinta seorang bapak tidak selalu terlihat di permukaan, tetapi selalu hadir dalam setiap keputusan yang dibuat demi kebaikan keluarga.
Meskipun waktu terus berlalu, dan rumah yang dulu kita huni mungkin telah berubah bentuk, kenangan tentang bapak tetap hidup dalam diri kita. Setiap pilihan hidup yang kita buat, setiap tantangan yang kita hadapi, adalah warisan dari prinsip dan nilai-nilai yang ia tanamkan. Rumah bukan hanya tempat kita kembali untuk tidur atau berteduh, tetapi tempat di mana kita belajar tentang kehidupan, tentang keberanian, dan tentang cinta yang memberi arti pada segala hal. Aku berterima kasih karena Bapak sudah mendidik aku sebaik mungkin menjadi pribadi yang disiplin.
Di balik segala kenangan itu, ada cinta yang mendorong kita untuk terus maju, menjadi lebih baik, dan menjaga rumah yang telah ia bangun dengan sepenuh hati. Karena rumah yang sejati bukan hanya tempat kita dilahirkan, tetapi tempat di mana kita terus tumbuh dengan bekal ajaran bapak yang tak ternilai harganya.
Aku bersaksi, Almarhum Bapak dan almarhumah Ibuk sudah berjuang banyak dan berbuat baik kepadaku. Jika diberikan kesempatan untuk bertemu lagi, izinkan kami berkumpul kembali di surga-Mu Yaa Allah.
Dan setelah Ibuk Bapak pergi, aku masih punya sepasang Ibuk dan Bapak lagi. Ibuk Bapak mertua yang aku sayangi lebih dari menyayangi diri aku sendiri. Aku juga mau berterima kasih untuk ridha, untuk segala do’a, restu, dan dukungan selama ini agar kami terus bisa hidup tenang di perantauan ini. Yaa Allah Ibuk Bapak mertua adalah orang baik, berikan mereka sehat dan umur yang panjang.
*rumah bukan hanya tentang bangunan tempat kita bertumbuh, tapi tentang orang-orang dan kenangan tentangnya.