Aku tak tahu bagaimana lagi harus mengungkapkan
rasa ini. Sebuah perasaan yang sudah sangat lama kupendam rapi di dalam dada.
Meski tak seorang pun yang sadar dan mengetahui isi dalam sanubariku, namun
namanya tetap rapi berada di sana. Tak pernah lelah aku berharap agar ia
mengerti bahwa aku sungguh mengagumi dan mencintainya. Aku sangat berharap ia
menjadi kekasih terbaik dalam balutan kisah kasih yang pernah kutulis selama
aku hidup di dunia.
Adalah seorang wanita berambut panjang, berwajah
tirus, dan berhati lembut yang telah mengambil simpatiku dalam kurun waktu yang
begitu lama. Ia bagaikan cahaya yang datang dan mendekatiku dengan segala
pesona yang terpancar. Jika memang sinar itu adalah milikku, aku akan sangat
bahagia. Menatap wajahnya berlama-lama, melihat ia tersenyum mesra adalah
sebuah kebahagiaan dalam hidupku. Bahagia tiada tara, begitu aku menyimpulkan
segalanya.
Namanya Kara, sosok bidadari yang selalu hidup
dalam pikiran dan menjadi temanku menjalani sisa-sisa hidup ini. Dara yang kini
sedang berada di Sakarya dan berkutat dengan setumpuk kertas-kertas putih demi
menata dan menjemput masa depan yang lebih baik. Aku begitu terkesima dengan
pesonanya. Tak pernah henti dalam sujud aku berdoa agar Tuhan meluluhkan
hatinya dan mau menerimaku menjadi lelaki yang paling beruntung di dunia karena
memilikinya.
Bertahun-tahun aku menyembunyikan semua kagum dan
rasa yang bersemayam di dalam tubuhku. Tak terhitung sudah berapa lama aku diam
dan hanya mencintainya dari jauh. Enggan berkata jujur karena aku takut ia
tidak menerimaku. Aku memilih untuk mencintainya dari jauh dalam diam meski tak
jarang air mataku harus jatuh karena melihatnya dengan yang lain. Entah dengan
siapa, namun aku masih tak kuasa jika melihatnya bersanding dan memilih jiwa
lain selain aku.
Dengan lapang dada aku menerima semua omongan
orang lain tentang nasib cintaku. Cinta yang tak kunjung tersampaikan bahkan
harus menjadi derita karena terhukum jarak yang tak biasa. Bagaimana aku bisa
jujur berkata bahwa diri ini mencintainya, sedang ia begitu jauh berada di bumi
para penakluk dunia. Ya, kini ia sedang berada di Eropa. Aku selalu menjadi
manusia yang paling bahagia jika memikirkannya, namun dalam satu waktu semuanya
hancur saat aku sadar ia bukan siapa-siapa dalam catatan takdir cintaku.
“Semoga dia bisa menjaga hati dan pandangannya di
sana ya Rayyan, karena jarak ini masih menjadi halangan buatku untuk berkata
jujur padanya.”
“Dia itu siapa? Kamu punya seseorang yang selama
ini menyusup ruang rindumu, Ayyas?”
“Ah, barusan aku bilang apa? Salah ngomong ya?”
“Salah ngomong gimana? Kamu aja nggak pernah jujur
sama kami. Gimana kami bisa tau kisah kasih asmaramu Ayyas?” Rayyan menjawab
sambil menyerngitkan dahi tanda tak setuju dengan apa yang baru aku katakan padanya.
Ya, begitulah drama cinta ini kurangkai hingga
sudah lebih dari delapan tahun aku kuat menyembunyikan semuanya. Kadang aku
mencoba untuk jujur dengan menyatakan semua kebenaran yang sudah sesak di dalam
dada. Tapi, aku takut ada yang terluka karena pesona wanita yang kupilih itu
telah mampu menghipnotis banyak manusia di sekitarku. Bahkan, tidak hanya aku,
ia memiliki belasan atau mungkin puluhan jiwa lain yang berharap sama
sepertiku. Sama-sama ingin memiliki Kara.
Detik berlalu, menit berganti, bulan berputar dan
waktu takkan pernah kembali. Aku tak mungkin mengatakan itu sekarang padanya.
Saat ini yang mampu kulakukan adalah terus berdoa dan mencoba memangkas segala
rindu yang datang mendekat. Meski tak jarang benih rasa itu menimbulkan sakit
dan melenyapkan keinginan untuk menjadi yang terbaik baginya.
Laksana langit dan bumi, kami terlihat asing.
Terpisahkan oleh jarak yang tak memiliki kekuatan untuk memiliki satu sama
lain. Meski kau jauh dan tak mengetahui apa isi hatiku, biarkan aku setia
menjadi langit yang akan selalu menatapmu dari jauh. Seolah menjagamu agar
terhindar dari panas dan bisingnya dunia yang hingga saat ini belum bersahabat
dengan kisah cinta kita.
Saat senja menjadi saksi bahwa segenap rasa yang
kumiliki ini adalah derita, aku akan berdiri tegak menyaksikan seluruh sikap
dan pesona anggunmu. Ketika rintik gerimis mulai datang menyapa dengan
sempurna, biarlah kususun ulang setiap hasta rasa rindu yang kupunya. Hingga
nanti, saat aku tersadar bahwa aku ini hanya lelaki yang bisa menjadikanmu
wanita yang kukagumi dari deretan langkahku yang masih tersisa. Adakah aku
salah jika melangkah maju dan mengagumi setiap keanggunan sikapmu itu?
Biarlah
kesabaranku menjadi detakan berbeda dari seribu harapan yang pernah terucap.
Menjadi benih derita dari penantian tentangmu. Maafkan aku, jika memang rasa
ini salah. Biarlah ia menjadi saksi kisah cinta dua insan yang salah dalam
berujar tentang rasa, rindu, dan lisan yang tak kuat untuk berkata jujur. Biarlah
nyawa cinta itu tetap abadi dalam genggaman sang pencipta, hingga nanti saat
musim berganti. Biar kutitipkan rindu pada angin yang melewati dinding jarak
yang takkan terungkap. Karena kita kini tersekat dua benua, aku di Jakarta dan
kau kini berada di Benua Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar