Myanmar kini menjadi sorotan dunia internasional akibat kekalahan Tadmadaw Union Solidarity and Development Party pada pemilu Myanmar November 2020 silam. Partai ini kalah dengan hanya mengantongi 8% suara, sementara sisanya sebanyak 82% suara dimenangkan oleh Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi yang dikomando oleh Aung San Suu Kyi. Kekalahan Tadmadaw berujung pada kudeta militer dan jatuhnya korban dari aksi demonstran yang menuntut pemerintahan dikembalikan kepada pemenang pemilu. Kudeta militer menyebabkan bentrokan yang terjadi antara warga Myanmar dan militer yang menimbulkan korban jiwa.
Myanmar sendiri dikenal sebagai negara dengan
kepemimpinan politis dan kepemimpinan militer. Parlemen Malaysia menilai ASEAN
sebagai organisasi regional seharusnya memahami bahwa kudeta yang dilakukan
militer Myanmar adalah sebagai rencana pemilu ulang yang tidak disepakati dan
tidak dapat diterima oleh masyarakat Myanmar. Perhimpunan negara di Asia
Tenggara ini harusnya dapat bersikap dan memberikan masukan untuk menekan
Myanmar dan mengambil sikap tegas dengan mengeluarkan Myanmar dari blok ASEAN
jika pemimpin militer di negara tersebut tidak dapat mengakhiri kudeta yang
saat ini terjadi.
Selain melanggar prinsip hak asasi manusia, ASEAN
seharusnya bisa memiliki kekuasaan dan delegasi tingkat tinggi dalam upaya
mengunjungi Myanmar dan berupaya mengembalikan pemerintahan kepada Aung San Suu
Kyi. Sebab kudeta yang terjadi adalah hal yang tidak dapat diterima dunia
internasional dan juga melanggar prinsip-prinsip hak
asasi manusia. Meski ketiga
negara di ASEAN yakni Kamboja, Thailand, dan Filipina memiliki sejarah kudeta,
perhimpunan negara di Asia Tenggara ini tidak boleh terpecah belah dalam
menyikapi permasalahan yang saat ini terjadi di Myanmar.
Di sini lain, kudeta yang terjadi di Myanmar merupakan
polemik bagi ASEAN. Sebab negara-negara organisasi regional ini tidak memiliki
hak dan kewenangan untuk melakukan intervensi situasi politik yang terjadi di
Myanmar. Hal itu didasarkan pada prinsip dan budaya ASEAN yang mengatur
penghormatan terhadap urusan politik internal negara anggota. Hal
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selama kudeta Myanmar dan permasalahan
politik internal Myanmar tidak memberikan dampak secara langsung kepada negara
lain, maka kewajiban negara anggota ASEAN adalah menghormati permasalahan
tersebut tanpa memberikan intervensi. Seperti kejadian ketika ada pertemuan
tingkat tinggi ASEAN dan membahas mengenai Rohingya, Myanmar meninggalkan
pertemuan tersebut karena merasa negara lain tidak menghormati permasalahan
internal negara mereka.
Meski kudeta militer yang terjadi di Myanmar
mengakibatkan korban berjatuhan, negara anggota ASEAN juga harus memperhatikan
isi Piagam ASEAN pasal 2 ayat 2 huruf e yang menyebutkan bahwa negara-negara
yang menjadi anggota ASEAN tidak akan melakukan intervensi dalam masalah
domestik suatu negara. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota ASEAN harus
tetap bersikap tegas dalam memantau kondisi masyarakat Indonesia yang berada di
Myanmar. Di balik itu, Indonesia dipandang tidak perlu mengeluarkan official
statement yang membuat munculnya persepsi dari negara di regional dan
internasional yang merugikan Indonesia.
Meski tidak dapat dibantah, sebenarnya prinsip dan
kebijakan non-intervensi di Piagam ASEAN itu tidak sesuai dengan kondisi yang
terjadi di Myanmar saat ini. Sebab, proses ambil alih pemerintahan oleh militer
Myanmar memiliki konsekuensi regional yang akan terus meluas apabila tidak
ditanggapi dan ditangani oleh negara-negara anggota Blok ASEAN. Sebagai contoh,
karena kudeta militer yang terjadi, akan semakin banyak pengungsi yang
berdatangan ke Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Tentu kedatangan pengungsi ini
akan menjadi masalah baru bagi stabilitas keamanan negara-negara tersebut.
Selain masih dalam belenggu prinsip non-intervensi,
kudeta militer yang terjadi di Myanmar memperlihatkan fakta bahwa ruang tumbuh
bagi demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di ASEAN kini
semakin sempit. Terlebih lagi, bagi negara demokratis seperti Malaysia,
Filipina, dan Indonesia ingin lebih fokus pada urusan dalam dimensi ekonomi dan
dipandang kurang memperhatikan dan mendesak urusan demokrasi dan HAM apalagi di
luar batas teritori negara. Meski memang memiliki negara dengan julukan
penjunjung tinggi HAM dan demokrasi, faktanya ketiga negara tidak mampu
memberikan sikap yang jelas dan harus bergerak sesuai dengan pijakan politik
luar negeri masing-masing negara. Kondisi ini menyebabkan ruang terbuka untuk
manuver non-demokratis seperti yang terjadi di Myanmar saat ini. Selain
terbelenggu prinsip non-intervensi, mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan
konsensus bersama juga pada akhirnya menjadikan masing-masing negara anggota
menyatakan sikapnya secara lebih diplomatis.