Siang yang begitu terik, panasnya sinar matahari
membakar kulit, jalanan macet parah. Kami hanya bisa maju perlahan karena
sesaknya jalanan yang dipadati kendaraan. Terdengar raungan klakson mobil
saling bersahutan. Para pengemudi tidak sabar untuk bisa lepas dari jebakan
antrian motor dan mobil yang begitu panjang. Beberapa pejalan kaki terlihat
melemparkan senyum ramah saat melewati kawanan becak yang juga terdampar dalam
sengitnya macet di pusat kota siang itu. Entah sudah berapa kali lampu hijau menyala,
tapi mereka belum bisa menghindar. Ada yang setia menunggu untuk melaju, tidak
sedikit juga yang berbalik arah mencari jalan lain untuk bisa selamat dari
ancaman kemacetan. Begitu juga dengan kami, aku dan Chandra yang saat itu
merupakan bagian dari manusia-manusia yang harus sabar menanti ruang jalan sepi
untuk bisa sampai di rumah Ayu, tempat berkumpulnya kami para muslim traveler.
Kami akan berlibur bersama lima dara jelita selain Ayu, ada Mila, Titan, Yunis,
Anis, dan juga Zora. Mereka berenam adalah saudara, Ayu, Anis, dan Zora adalah
mahasiswa MIPA yang terkenal dengan aksi olah data dan bahasa ilmiah yang
kuliah di kampus unggulan. Mila, ia adalah lulusan fakultas ekonomi dari Negeri
Jiran. Sementara Titan dan Yunis adalah mahasiswa manajemen yang menempuh studi
di perguruan tinggi ternama di kotaku. Sementara aku dan Chandra adalah duo perjaka
yang menghabiskan usia untuk belajar ilmu sosial dan sains. Dua puluh menit
menunggu, akhirnya kami selamat dari kepungan macet yang sangat menyita tenaga.
Keringat bercucuran, kami terus mencari celah untuk meneruskan perjalanan.
“Hai Ayu, gimana sudah siap berangkat?” Mila
memastikan rekan sepupunya itu sudah bersiap saat kami baru saja memasuki rumah
mewah berukuran mini yang tertata rapi itu.
“Belum, ini masih bersih-bersih rumah, yang lain
sudah siap?”
“Kami sudah siap meluncur menghabiskan sisa waktu
liburan. Ini cuma nungguin kamu aja,” ujar Mila yang menatap ke arah televisi sambil
menodong makanan yang tersedia dalam beberapa toples di lantai.
“Anis sama Zora mana, kok belum keliatan?”
“Nah, itu dia, mereka masih ada rapat paripurna di
kampus. Setelah selesai mereka akan langsung menyusul kita kesini,” Yunis
angkat suara sambil mengecek list barang dan memastikan tidak ada yang
tertinggal.
“Baiklah, aku berkemas dulu, sebentar.”
“Buruan, kami juga masih mau ngabisin makanan ini
dulu,” teriak Mila diikuti gelak tawa anak-anak. Mila memang rajanya makan,
selalu saja ia mendapatkan waktu untuk bisa menikmati cemilan yang tersedia.
Baginya, diet akan selalu dimulai esok hari. Yunis melempar tawa, Titan
menatapnya tak percaya. Para wanita itu memang akan berlaku konyol jika sudah
berkumpul. Selalu saja tidak pernah kehabisan bahan untuk dibicarakan dan
berakhir dengan tertawa lebar diantara mereka.
Tidak lama berselang, semua anggota sudah lengkap.
Setelah mengecek semua perlengkapan, kami pun berangkat menyusuri keramaian
jalanan kota dan berbelok arah menuju pantai Drini. Mobil yang kami kendarai
memang terbilang kecil tapi bisa menampung delapan manusia super konyol. Di
depan ada aku yang menemani Chandra sang driver. Di barisan kedua ada Mila,
Yunis, dan Ayu. Sementara Titan, Anis, dan Zora duduk di bagian belakang. Sama
seperti sebelumnya, Mila akan selalu memulai canda, bahkan kali ini sepanjang
perjalanan jurusnya begitu ampuh memancing pecahnya tawa dari kami semua. Titan,
Anis, dan Zora cenderung lebih diam, mereka bisa berubah menjadi insan
pendengar yang baik. Aku bisa menebak, ada dua kemungkinan mengapa mereka
terdiam, karena mereka lebih junior atau karena ketiganya mulai diserang angin
jahat yang mengundang rasa kantuk dan mabuk yang tak berkesudahan. Sesekali
terdengar suara Anis yang memberikan petunjuk jalan yang akan kami tempuh
menuju pantai. Ia sudah sangat hapal akan kondisi medan yang akan kami lalui,
sebab ia sering melakukan perjalanan menyisir pantai untuk keperluan praktikum
Biologi.
Hampir dua jam menikmati hijaunya pemandangan menuju
pantai, mata kami seolah tak bosan menyaksikan kebesaran Tuhan. Betapa luar
biasa nikmat yang telah Tuhan berikan dengan kehadiran alam yang memanjakan sepasang
mata yang lelah dengan kehidupan perkuliahan. Bila kantuk mulai tiba, aba-aba
sang pengemudi mobil dan penunjuk arah akan membangunkan kami. Mereka akan
memberitahun bahwa sebentar lagi kami akan tiba di pantai yang indah, eksotik,
dan juga tawaran tampilan sunset yang sangat dinanti-nanti oleh banyak manusia.
Saat mobil belum terparkir sempurna, kami sudah berhamburan keluar, memandangi
kawanan manusia yang melewati area pantai dan para juru parkir yang dengan
telaten terus menata kendaraan yang memasuki daerah pantai.
“Kita mau mendirikan tenda dimana teman-teman,” Anis
mencoba menarik perhatian kami yang masih sibuk dengan perlengkapan
masing-masing.
“Ngikut aja deh, dimana yang bagus.” Teriak
anak-anak kompak.
“Gimana kalau di atas sana aja, ada bukit yang bagus
dan hijau,” aku menawarkan tempat sambil menunjuk kea rah perbukitan yang
terletak tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri saat itu.
Semua dara itu mengangguk. Aku membiarkan mereka
menikmati pasir dan menanti sunset di pinggiran pantai. Sementara aku dan
Chandra terus berjalan menaiki bukit melihat keadaan dan mencari tempat yang
cocok untuk mendirikan tenda. Tidak lebih dari hitungan sepuluh menit, kami
sepakat akan mendirikan tenda di sekitar bukit yang dekat dengan bibir pantai.
Meski terletak agak jauh dari pusat keramaian, namun hal tersebut akan
memberikan suasana yang berbeda. Sementara keenam dara itu asyik menikmati
sunset yang begitu menawan mata, duo perjaka pun terus mendirikan tenda.
Sebelum sunset berlalu sempurna, kami pun berkesempatan mengabadikan momen
dalam balutan sinar mentari yang akan pergi menghilang. Cahayanya indah tak
terkira saat terbalut dengan hijaunya pepohonan dan deburan ombak yang memang
megah dipandang mata. Waktu maghrib tiba, tenda sudah berdiri, kami pun
bergegas untuk menunaikan kewajiban dengan bergegas turun dari area bukit yang
sudah semakin gelap karena ditinggal oleh sang surya. Hari berubah menjadi
begitu sendu, saat bacaan fatihah menusuk kalbu, hening dalam balutan pengharapan.
Titah Tuhan memang selalu menenangkan. Malam itu indah.
Tidak hanya berhenti sampai disitu. Keindahan malam
kembali berlanjut saat kami berdelapan berbagi cerita sambil menanti hidangan
santap makan malam tiba. Tidak ada kata malu unntuk mengeluarkan candaan dan
diikuti oleh senyum dan tawa ramah. Kadang saling tatap karena sudah saling
mengerti satu sama lain. Bahkan tidak ada kecanggungan untuk saling hina
diikuti dengan pujian. Bak lagu Tulus, memuji teman tapi selalu diawali dengan
hinaan. Karena bagi kami, saling puji itu biasa, bisa menghina tapi tak merasa
direndahkan dan membuat orang lain bahagia adalah sebuah keharusan. Malam
semakin gelap, dunia sudah tertutup sempurna dengan pekatnya malam tanpa
cahaya. Bulan seperti malu-malu untuk menampakkan dirinya, malam itu tiada
bintang, karena kami berdelapan adalah bintang. Saat hari akan berlalu, tepat
jam dua belas malam, mata kami dimanjakan aksi saling lempar kembang api. Tanda
bahwa liburan kali ini menjadi awal yang indah untuk memulai aktivitas dan
menatap masa depan. Sulit membendung gelak tawa saat itu, semua kata seolah
terlempar dengan sempurna tepat mengenai sasaran. Kami saling berucap tentang
profesi dan pengalaman untuk melanjutkan sisa catatan mimpi yang masih kami
simpan. Kami bahagia memandang langit malam yang sepi tanpa pantulan cahaya
rembulan. Binar-binar sayatan kilau kembang api masih menjadi tampilan terindah
langit malam itu. Pantai Drini yang sepi berubah menjadi lautan mercon dan
cahaya api mungil yang saling bersahutan satu sama lain. Tak berhenti kami
mengucap syukur untuk setiap keindahan yang kami rasakan. Saat malam berlalu
sempurna, setiap pasang mata sudah terlelap dengan alunan lagu merdu dari alam
dan pantai yang tak bisa diam dengan deburan ombak yang meniupkan rasa dingin
dan menuntut mata untuk terlelap lebih lama. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi
yang akan kami dustakan, malam itu berlalu.
“Tolong fotoin kami dong, di sebelah sini, menghadap
kesana,” terdengar suara para dara jelita yang sudah berjalan menyusuri pantai
meski rintik hujan masih setia melaju menemani pagi tanpa sinar mentari itu
berlalu. Aku menyaksikan jiwa-jiwa itu
bersinar bahagia melewati menit demi menit sebelum kami berbalik arah kembali
menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa. Beberapa kali Chandra
mengabadikan momen terbaik, ia memang photographer yang handal. Ditambah lagi
dengan enam bidadari cantik yang siap menjadi model terbaik yang akan
diabadikan dibalik kanvas hitam dalam catatan singkat sebuah perjalanan. Aku
mengakui mereka memang sosok yang luar biasa, anggun dalam balutan rok dan
naungan jilbab yang menjadikan mereka cocok diberi julukan muslim traveler. Mereka
memberikan banyak warna, banyak cerita, dan juga banyak pelajaran dalam
perjalanan ini. Kebahagiaan adalah saat bisa mengenal dan melihat mereka
tertawa lepas. Saat keenam dara itu merasa lelah, kami berkemas, liburan
singkat telah usai, kami berbalik arah, kembali!