Membuka tulisan ini, aku cuma mau ngingetin bahwa yang
tertulis dan teman-teman baca adalah perspektif bukan kebenaran. Tapi,
menurutku ini penting untuk disampaikan karena akan berpengaruh terhadap proses
bertumbuh seseorang. Karena kalau tidak, masyarakat kita akan tetap menjadi
raja yang sok super asyik pintar berkomentar tanpa memperhatikan kenapa mereka
harus berkomentar. Apalagi dengan semakin maraknya penggunaan sosial media yang
menjadikan manusia seolah-olah adalah Tuhan untuk bisa menghakimi orang lain,
kualitas hidup orang lain, dan segala sesuatu yang terjadi pada orang lain.
Kalau sudah demikian, kapan mau melihat dan introspeksi kualitas diri?
Jadi begini, ketika seseorang terlahir ke dunia, ia tidak
pernah bisa memilih akan terlahir di keluarga yang kaya, miskin, berpendidikan,
atau justru lahir di keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi. Proses lahir ya
lahir, tidak bisa request dulu sama Tuhan minta dilahirkan di tengah keluarga
yang mewah dengan hamparan red carpet and so on. Ketika lahir, seseorang juga
tidak bisa memilih apakah ia akan diterima dengan baik oleh keluarganya atau
tidak. Termasuk apakah ia akan tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, broken
home, atau keluarga yang sering perang mulut penuh dengan tekanan dan
kekerasan.
Entah dibesarkan dengan kasih sayang atau dengan hal-hal
yang kurang menyenangkan, seseorang pasti merasa ada yang salah dengan dirinya.
Misal, kenapa orang tuanya sering bertengkar, kenapa dia merasakan kekurangan
perhatian dan kasih sayang, kenapa ia menemui takdir sebagai anak broken home,
dan lain-lain. Pasca itu semua, seseorang akan tumbuh dengan karakter bagaimana
ia dibesarkan oleh keluarganya. Mengapa kita sering melihat anak-anak yang
brontak dan keras kepala? Karena itu bisa jadi berasal dari mental dan jiwanya
yang cedera sebab dibesarkan di tengah keluarga yang tidak harmonis. Mengapa anak
perempuan lalu menampilkan gaya hidup bebas, pacaran, bahkan sampai melakukan
hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan? Karena itu pelarian. Ia butuh
pengakuan bahwa ternyata ada orang yang menyayangi mereka, menerima mereka,
hingga mereka mau memberikan apapun yang orang lain minta.
Belum lagi kalau misalnya si anak adalah seorang yang introvert, pemalu, atau memiliki mental
yang tidak sehat. Masyarakat sekitar pasti bakal dengan mudah ngejudge kenapa
begini kenapa begitu. Padahal itu adalah karakter lazim yang dimiliki oleh
manusia. Ada yang pemalu, tidak suka keramaian, tapi sama orang tuanya dipaksa
untuk menerima keramaian. Tidak bisa. Ada yang suka keramaian, suka ngobrol
tapi sama orang tuanya dipaksa untuk diam. Bakal tidak bisa. That’s why agama
memerintahkan manusia itu untuk membaca, iqra’. Agar kita tidak dengan mudah
menjatuhkan vonis terhadap kualitas hidup orang lain yang hanya kita lihat
secara kasat mata.
Apalagi misal seseorang yang memiliki kelainan, bipolar
misalnya aniexiety disorder misalnya
atau gangguan kecemasan. Masyarakat mana mau tau hal-hal yang demikian, benar
bukan? Bisanya adalah menjatuhkan vonis, seolah hukum netizen adalah yang
paling benar. Melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan di masyarakat,
pasti akan menjadi bahan omongan. Padahal, seharusnya dicari tau kenapa
seseorang demikian, kenapa begini, kenapa begitu. Kenapa seseorang memiliki panik
berlebih atau gampang panikan, kenapa seseorang menutup diri, kenapa seseorang
A B C D sampa Z. The best thing adalah learn kenapa mereka demikian, jangan
langsung menjatuhkan sanksi sosial. Karena kalau hanya mengikuti pikiran,
pikiran hanya menginginkan hal-hal yang bahagia. Padahal hidup itu ada dua
sisi, tidak mungkin selalu bahagia. Sedih juga adalah bagian hal yang dirasakan
manusia.
Bagi sebagian orang, mungkin mengalami kesedihan karena
ditinggal orang tercinta, terpisah, atau bahkan memisahkan diri secara paksa
adalah satu rentetan proses menuju naik kelas. Tapi, tentu dengan konsekuensi
yang harus diterima. Tapi, bisa jadi semua proses kesedihan bukan proses untuk
bertumbuh, akan tetapi proses untuk turun kelas. Sejenak merenung mengapa
hal-hal buruk bisa terjadi dalam hidup lalu memulai hidup untuk lebih
menurunkan ego dan lebih menerima kenyataan. Sering kali yang terjadi dalam
hidup bukan diri kita yang tidak menerima yang terjadi, tetapi ego kita. Perlu
menjadi perhatian, bahwa tidak semua masalah hidup itu diselesaikan dengan
curhat. Kalau dalam ilmu psikologi dikatakan bahwa kita juga perlu duduk, tarik
nafas, dan menyadari bahwa diri ini masih bernafas. Karena nafas adalah nikmat,
maka hidup pun adalah kenikmatan yang harus dijalani tanpa harus terus
menyalahkan keadaan. Kenapa saya jadi anak broken home, kenapa saya ditinggal
Bapak, kenapa orang tua saya pisah, dan kenapa kenapa yang lain. Semakin kita
mencari pembenaran, semakin kita tidak menerima kenyataan dan menyalahkan
kondisi lalu berujung pada kondisi stres. Tidak jarang stres tersebut yang
memicu seseorang untuk mengalami sakit mental.
Di sisi lain, menurutku, ada pentingnya juga untuk
benar-benar memastikan apakah ketika menikah memang seseorang sudah siap lahir
dan batin. Sebab menikah, memiliki keturunan, menambah keturunan, memiliki
banyak sekali konsekuensi yang tidak bisa ditebak. Siap lahir batin artinya
siap secara mental jasmani dan rohani. Ada banyak yang menikah kadang hanya
karena pemenuhan biologis semata. Penting selesai nikah hanimun, menikmati masa
romantis. Bukan hanya itu risiko menikah. Ada banyak hal lain, seperti
kebutuhan finansial yang terus bertambah, masalah yang bisa terjadi kapan saja,
hingga bagaimana kita mendidik anak. Aku kadang sedih, sedih banget kalau
melihat orang menikah hanya untuk menikmati manis-manisnya saja. Sementara
ketika pahitnya, dilimpahkan ke pasangan atau tidak menerima kenyataan pahit. Balik
lagi bahwa hidup ini adalah runtutan sedih dan bahagia. Ketika kamu sedih,
yakin aja bahwa kamu tidak selamanya menikmati kesedihan. Ketika bahagia juga
sama, tidak selamanya kamu bahagia. Apalagi sedih dan bahagia bisa hadir dalam
satu masa yang berdekatan.
Terus harus bagaimana?
Mari lebih menenangkan ego dan tidak kalah dengan
tuntutan yang diberikannya. Mari membuka mata bahwa hidup ini adalah dua sisi
tidak hanya mudah tetapi juga susah. Dan kita harus banyak belajar untuk bisa
menyadari bahwa nafas ini adalah nikmat dan hidup ini adalah anugerah yang
Tuhan berikan untuk kita. Kehidupan ini yang seharusnya dijalani dengan baik. Mari
banyak belajar. Allah tidak mewajibkan kita bergelar, tapi belajar. Agar apa
yang dilakukan terarah dan tidak menyakiti orang lain. Kalau menemukan orang
yang berbeda dan tidak wajar, jangan langsung menjatuhkan sanksi sosial, akan
tetapi cari tau kenapa dia berperilaku demikian. Belajar juga untuk self
healing, menerima diri dengan penerimaan yang sesungguhnya. Calm down, belajar
belajar dan belajar. Kita memang tidak bisa memilih akan terlahir dari keluarga
seperti apa, tapi kita bisa memilih bagaimana bersikap dan menjaga sikap agar
perilaku dan perkataan kita tidak menyakiti orang lain.
*Manusia itu hidup untuk memanusiakan orang lain. Tetap
tegar dan menikmati hidup. Jangan menangis apalagi sampai menitikkan air mata
untuk mengorbankan kewarasan. Berdamailah dengan diri sendiri dan berdamai
dengan luka dunia adalah cara terbaik untuk bertumbuh dan menjadi manusia.