Berujar tentang Ibu, aku
teringat betapa besar jasanya mengasuhku hingga aku menjadi seperti sekarang.
Masa remaja hingga dewasa telah membentuk pemikiran dan tingkah laku yang
berbeda, begitu juga kisah teman-temanku yang selama ini aku perhatikan dengan
seksama. Aku memperhatikan tak jarang mereka tega berperilaku yang kurang
terpuji di depan orang tua mereka, terutama Ibu. Mereka tidak malu menyakiti
perasaan Ibu mereka sendiri di depan banyak pasang mata yang sedang menyaksikan
kisah itu berlalu sempurna. Bukankah Ibu adalah sosok wanita dengan kasih
sayang yang tidak pernah putus? Mengapa mereka berani menentang Ibu mereka
sendiri? Mungkinkah mereka lupa dengan segala hal yang telah dilakukan Ibu
ketika mereka masih kecil dulu?
Aku mendesah dalam seraya diam
tak bergeming kemudian melanjutkan aktivitasku untuk bercerita bersama Ibu. Ada
kenikmatan tersendiri setiap berada di sampingnya, apalagi ditemani secangkir
teh hangat spesial buatan Ibu. Ia menuturkan bahwa teh itu diaduk dengan
hangatnya rasa cinta seorang Ibu untuk anak kesayangannya. Aku tak kuasa
menahan tawaku malam itu. Ibu selalu mampu mencairkan suasana saat sedang
berkumpul bersama anaknya.
Langit malam terlihat pekat
sempurna. Sepertinya awan sedang berkumpul mencipta mendung. Bintang masih
enggan menemani rembulan yang terlihat redup. Entahlah, yang pasti malam itu
aku merasa bahagia bisa menatap wajah Ibu penuh senyum. Rinai matanya seolah
berkata tidak ingin jauh apalagi terpisah dengan anaknya. Canda Ibu seolah menjadi
pelita malam yang gelap. Tidak ada rasa sepi apalagi hening yang memeluk. Semua
terasa indah jika Ibu sedang duduk dan bercerita di depanku.
“Tidak terasa ya Nak, kini kau
sudah beranjak dewasa. Sepertinya baru kemarin aku mengajarkanmu merangkak,
berjalan, meniup balon. Kini kau sudah tumbuh menjadi lelaki yang gagah
anakku,” Ibu mulai berucap melepas balutan rindu yang ia simpan selama ini.
“Ibu bisa saja, kan Wira sudah
menginjak usia 22. Itu adalah waktu yang terbilang lama Bu.”
“Jika kau sudah menemukan
pendamping hidupmu, apakah kau akan meninggalkan Ibu Nak?” ucapnya serius yang
membuat mataku terbelalak. Aku tidak mengira pertanyaan itu akan terucap dari
bibir manisnya. Sebenarnya ingin aku berujar bahwa setiap lakon kisah yang aku
lalui selalu menyisakan rindu yang teramat sangat untuk Ibu. Namun, aku jarang
bahkan hampir tidak pernah memiliki keberanian untuk mengucapkan itu di hadapannya.
Seperti malam ini, sungguh aku ingin sekali menumpahkan butir-butir rindu yang
aku punya. Namun, entah kenapa lisan ini terasa kelu untuk mengucapkan itu
semua. Apakah rindu itu yang selalu mengetuk relung dada dan membuat Ibu merasa
ingin berjumpa dengan anaknya?
“Kenapa Ibu bertanya demikian?”
“Tidak Nak, Ibu hanya ingin
tahu apa jawabanmu. Ibu perhatikan banyak sekali pemuda yang kemudian
meninggalkan Ibunya manakala sudah berjumpa dengan kekasih hati yang ia anggap
pantas untuk menjadi pendamping hidupnya.”
“Ibu, aku tidak seperti mereka.
Aku akan menemani Ibu hingga hari tua nanti. Ibu harus percaya itu. Tawa yang
terdengar selama ini adalah tangis yang berusaha kusimpan setiap kali aku
merindukanmu Ibu. Aku tidak ingin Ibu kepikiran tentang aku di sana,” gumamku
sambil melayangkan senyum manis untuk wanita luar biasa yang ada di hadapanku.
“Aku akan menjaga Ibu
baik-baik, percayalah Bu.”
Malam itu berlalu dengan
romantis setelah aku menyanyikan sebuah lagu untuknya. Tak lama berselang, Ibu
pamit ingin istirahat lebih awal. Aku tidak bisa menahan, kedua mata Ibu sudah
memberikan sinyal bahwa kelopak mata atas dan kelopak mata bawah itu ingin
segera berjumpa. Bersatu dengan pekat malam dan berakhir di dermaga mimpi
indah. “Selamat malam Ibuku sayang, selamat istirahat, mimpi indah ya,” ucapku mesra
sebagai penghantar waktu istirahat malam untuk Ibu. Meski tanpa kecupan manis
di keningnya, aku yakin Ibu pasti bahagia.
Besok aku akan mengungkapkan
rindu untuk Ibu. Rindu teramat sangat yang selama ini aku simpan. Telah aku
tata rapi hingga nanti akan aku ucapkan dengan tawa haru biru. Angin malam
berdesir ditemani gemuruh petir yang semakin mengundang kantuk. Aku bergegas
masuk kamar dan mempersiapkan segala kejutan untuk Ibu. Tak lupa aku
menghubungi teman-teman agar berkenan hadir dan menambah ramai suasana hari
bahagia Ibuku besok. Setelah memastikan segalanya berjalan mulus, bintang malam
mengajakku untuk menyusul Ibu berlabuh di dermaga ayu menyambut mimpi sebelum
fajar dan mentari pagi hadir kembali…
Keesokan harinya, tepat pukul
tujuh pagi teman-teman sudah berkumpul di ruang tamu. Aku memanggil Ibu yang
masih sibuk di dapur.
“Ibu ada tamu di depan, mereka
sudah menanti Ibu sejak tadi.”
“Iya sebentar Nak, Ibu cuci
tangan dulu. Setelah itu Ibu akan menyusulmu ke ruang tamu.”
Tak lama menanti, terdengar
langkah Ibu datang mendekati kami. Sebelum tiba di ruang tamu itu, aku
mengejutkannya. “Selamat ulang tahun Ibu, panjang umur dan sehat selalu ya. Wira
sayang Ibu selalu.” Teman-teman kemudian menyusul di belakangku sambil
menghidupkan lilin di atas kue tart
besar bertuliskan “Happy Birthday
Ibu” seraya berkata “Selamat ulang tahun ya Buk.” Pagi itu aku memeluk Ibu erat
seolah takut akan kembali terpisah. Sebelum Ibu melepaskan pelukan itu, aku mengecup
keningnya sambil berkata “Selamat ulang tahun Ibuku sayang, aku sayang Ibu
sampai akhir hayatku.”