Aku dulu pernah kesal. Kesal yang
membuatku susah untuk mengungkapkan segala bentuk peduli dan harapan baik yang
membuatnya bisa tersadar. Entah, mungkin masa-masa gemilangnya telah redup
ditelan malam yang panjang. Sepertinya jiwa itu sudah lelah. Padahal, rembulan
belum berucap pamit pada setiap rentang panjang penuh kilas harap. Mentari
tidak jenuh untuk bersinar. Selalu, setiap hari ia datang menerangi bumi. Jiwa
itu kenapa? Entahlah, jangan tanyakan aku!
“Akan selalu ada harga yang harus
dibayar untuk sebuah proses. Sulit, susah, jatuh, terpuruk menjadikan ihwal
perjalanan semakin terasa tak memudar.” Hari ini, perjalanan panjang itu telah
terlewati. Setelah sekian lama aku memendam rasa penuh harap agar masa-masa itu
tiba, ternyata benar. Hari ini masa itu hadir menyapa kami. Setelah berjalan
beberapa saat di depan gedung putih itu, aku menghentikan langkah. Aku sibuk
menekan tombol HP yang aku pegang. Mencari deretan nama kontak yang aku maksud
untuk bisa memastikan peristiwa penuh haru itu pasti akan terjadi. Ya, hari
ini, aku yakin. Janji Tuhan tidak akan meleset, hasil tidak akan mendustai
usaha. Sekali lagi aku yakin.
“Kak di mana?”
“Di kampus lagi nungguin Bang Gia ujian
dek.” Suara itu berbeda. Siapa? Kok bisa?
“Iya, di gedung mana kak?”
“Di Lab hUkum lantai 2 gedung syari’ah. Mau kesini kah?”
“Di Lab hUkum lantai 2 gedung syari’ah. Mau kesini kah?”
“Iya kak, ini aku lagi di UIN.”
Dengan langkah pasti aku mendekati
bangunan berwarna hijau dan putih itu. Memasuki gedung di mana
peristiwa haru hari ini akan terjadi, begitulah harapku. Dengan semangat aku
menaiki tangga demi tangga hingga sampai di tempat yang aku cari. Ya, lantai 2
di Lab Hukum. Mataku sibuk mencari dan memandang orang yang sedang duduk di
depan kelas itu. Beberapa detik kemudian, mata ini tertuju kepada dua sosok
yang sedang saling bercakap tak jauh dari tempat aku berdiri. Mendekat dan
menyapa mereka. Iya benar, itu mereka yang aku cari. Setelah bercakap sejenak,
kembali berbalik badan dan menyaksikan lelaki yang sedang duduk menghadap tiga
dosen penguji itu. “Yaa Tuhan, permudahlah, jangan Engkau persulit.”
“Yaa Allah gimana ya Bang, aku kok
gugup,” ujar Yuli.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Ya itu, Bang Gia lagi ujian. Aku nanti
gimana ya? Akhirnya Bang Gia ujian juga ya?”
“Sudah biasa aja dek. Bisa kok. Ujian skripsi
itu tidak susah seperti yang dibayangkan.”
“Iya dek, cuma kayak presentasi biasa
aja. Cuma dosennya bakal nanyain, ini kok kayak gini, di halaman sekian datanya
begini dan begini, coba dijelaskan, gitu-gitu aja dek,” ujar Kak Septi.
“Kakak malah dulu ujian gak didampingi
sama dosen pembimbing, jadi berjuang sendirian.” Ujarnya lagi.
“Sebentar lagi, kamu akan jadi sarjana
Bang, aku ikut bangga. Akhirnya kita bisa jadi sarjana,” gumamku lirih. Dengan
perlahan tapi pelan, harapan dan do’a itu merasuk terbang jauh melayang. Masih
menginginkan keajaiban adalah teman kami untuk bisa pulang. Cahaya demi cahaya
datang memasuki ruang ujian itu. Yaa Tuhan, betapa besarnya kuasamu hari ini. Meski
sepi, aku masih berdiskusi dengan lirihnya suara hati yang memilih menemani
langkah akhir ini. Entahlah, semoga kemerdekaan itu akan menjadi milikmu hari
ini.
Tidak lama berselang, ia datang
mendekat. Seperti lelah seraya kaget melihatku ada di di antara
dua bidadari yang sedari tadi menemani langkahnya. Aku menyalaminya. Guratan
wajah itu belum hilang, hasilnya masih didiskusikan. Tapi aku yakin pada janji
Tuhan.
“Sebentar lagi, masih nunggu panggilan
masuk buat tau hasilnya,” ujarnya tenang.
Akhirnya selesai juga ujian itu. Lima
menit? Tidak, tidak sampai. Belum tepat lima menit, ia masuk dan duduk di depan
dosen penguji itu. Kemudian, berbalik badan dan hadir dengan senyum ceria meski
tidak sempurna.
“Lulus, aku dapat nilai B+”
“Yaa Allah, Alhamdulillah. Ingin
rasanya sujud di sini. Tidak, jangan! Lelah perjalanan kemarin, tadi seperti
sudah hilang.”
Aku mengintip lembaran-lembaran tugas
akhir itu. Tak sengaja lembar persembahan menjadi awal lembar yang aku buka.
“Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tua yang telah berjasa besar dalam
hidupku.” Begitulah kurang lebih goresan tinta itu. Mata ini hampir saja
menumpahkan beban yang sudah tidak kuasa aku tahan. Untung aku lelaki, tidak
mungkin aku menangis di sini. Aku baca ulang lembaran itu. “Yaa Allah, semoga
Ayah bahagia di alam sana melihat anaknya ini sudah menjadi sarjana. Ibu,
restumu selalu menjadi penyemangat kami dalam melangkah.” Huh! Sungguh aku
terharu, aku tidak bisa berbohong untuk itu.
Singkat sekali kalimat yang sudah ia
tuliskan. Tapi, itu sungguh amat bermakna dalam. Bahkan sedalam lautan yang ada
di bumi yang telah Tuhan ciptakan ini.
Dulu kau pernah terjatuh, terpuruk
bahkan mungkin sulit untuk bangkit. Tapi, jiwa yang hadir menjadi teman hidupmu
telah menjadikan hari ini hari bahagiamu. Memasang senyum simpul atas
keberhasilanmu menjalankan apa yang menjadi kewajiban. Hari ini
kami menyaksikan tentang nikmatnya dari proses panjang. Hari ini kami berujar
tentang makna sebuah perjuangan penuh makna. Tentang jatuh bangun dalam
melangkah kemudian mampu berdiri tegak. Tentang keindahan di kanan kiri jalan
yang dulu penuh ranjau namun terlewati dengan baik. Tentang terjalnya medan
penuh batu kerikil yang mampu kau taklukkan. Tentang peluh dan air mata yang
pernah ada kemudian menitik menjadi serangkaian senyum ringan ketika kau mampu
menjemput impian. Lantas, dengan bangga kau berkata “Alhamdulillah, aku lulus.”
Dan aku menambahkan dalam diamku “Kau kini sarjana Bang.”
Menjalani semua itu bukanlah perkara
mudah. Tidak seperti yang nyaman kita bayangkan. Selamat untuk setiap pijakan
jejak langkah yang pernah kau ayunkan. Untuk tangan yang selalu menengadah
untuk diberikan kemudahan oleh Tuhan. Sepasang kaki yang mungkin
pernah lelah tapi bisa bangkit dan berjalan meski terlihat sulit untuk berlari.
Nikmatilah! Teriakkan dengan bangga bahwa hari ini mimpimu yang pernah kau
tuliskan dulu sudah menjadi nyata. Jiwa diperbolehkan, mungkin gedung putih itu
akan banjir jika air mata kami meleleh karena melihatmu lulus. Sungguh, aku
terharu. Hari ini aku bangga sekali melihatmu berjalan, melangkah menjemput dan
membuktikan hal yang membahagiakan Ibu di rumah.
Sekali lagi aku yakin, janji Tuhan itu
pasti. Begitu pun hari ini. Hasil tidak akan pernah mendustai usahanya. Hari
ini seperti terjebak di dalam aksara kumpulan rindu di ufuk senja. Memahat
sayunya asmara kata jika Ayah sedang ada bersama kita. Tahukah kau, Ayah pasti
bangga melihatmu hari ini, menjadi seorang sarjana, meski ia tidak bisa
menjabat tanganmu, memelukmu dan berkata “Selamat Nak, hari ini kamu jadi
sarjana!” Ayah pasti bangga melihatmu menjadi sosok yang kami kagumi hari ini,
ia pasti tersenyum melihat anaknya menjadi pribadi yang dibanggakan. Lelah dan
peluh yang dulu pernah ia rasakan, hari ini berubah menjadi bahagia, meski ia
tidak ada di samping kita. Aku yakin, Ibu pasti menangis karena tak kuasa
menahan haru yang sore ini datang mendekat menyapanya. Berbisik bahwa anaknya
hari ini sudah menjadi seorang sarjana. Beliau pasti bangga, bersyukur pada
Tuhan karena do’a yang setiap malam ia panjatkan dengan tangan yang tak pernah
lelah, dengan hati yang selalu hadir, hari ini telah terjawab. Sebentar
lagi, yudisium tanda pengukuhan seorang sarjana akan kau jalani. Toga sebagai
pakaian kebesaran akan kau kenakan. Tidak hentinya hari bersyukur mengingatmu telah
sampai pada garis finish. Untuk segala proses yang telah lalu, semoga
mengajarkan pengalaman hidup yang berarti. Semoga terus melangkah maju dan
selalu berhasil dalam setiap angan dan mimpi yang telah kau tuliskan. Selamat
dan sukses untukmu saudaraku, Bahagia Putra SD, S.Hi
Congratulations. Nothing to fear for
now, let’s fly and take trip to a thousand moon!