Melengkapi hasrat
liburan kali ini, aku dan teman-teman pergi ke suatu tempat di pojok kota kecil
tak begitu besar yang merupakan salah satu objek wisata dulunya, katanya.
Tempat itu menjadi salah
satu destinasi wisatawan dalam negeri karena takjub akan pesona air mancur yang
terkenal dengan sebutan Tancak Kembar. Pagi itu, kurang lebih pukul delapan,
ketika matahari masih tak terlalu panas dan terlihat mulai naik, pergilah kami
ke sana.
Sungguh saja, tempat itu masih menjadi lokasi yang aku bayangkan, walaupun itu
amat sulit untuk ditebak. Kata Iqbal, tempatnya keren banget, ia bahkan sempat
menunjukkan padaku gambar yang ia ambil dari google itu. Emang keren sih
kelihatannya, air terjun yang berjejer dua alias berdekatan seperti keliatan
kembar gitu.
Jalan yang kami
tempuh lumayan jauh untuk bisa sampai di tempat itu, melewati jalan raya
beraspal yang entah mengapa kala itu kami selalu dihadang lampu merah jalanan
ramai itu. Maklum sajalah, hari-hari terakhir puasa kan, jadi banyak yang
mondar-mandir mempersiapkan keperluan rumah untuk menyambut Idul Fitri,
begitulah kira-kira. Selain jalan aspal mulus, kami juga melewati jalan terjal,
tidak terlalu terjal namun memaksa kami untuk turun dari motor alias berjalan
kaki. Perjalanan panjang dan tidak melelahkan, mengapa? Karena kami menikmati
dengan penuh syukur bisa berjalan menuju ciptaan Tuhan yang Maha Agung. Sambil
terus berjalan dengan nafas tersenggal, aku tak lupa mengambil video
dokumentasi dari pertualangan singkat itu. Biar pun hasil videonya jelek, yang
penting nanti ketika kami kembali setidaknya ada yang bisa dikenang dan
dipandang untuk mengingat setiap kejadian yang terjadi meski tidak terlalu
rinci.
Singkat kata,
sampailah kami di pintu masuk tempat wisata itu. Gemuruh air yang beriak jatuh
silih berganti menjadikan kami begitu penasaran, seperti apakah wujud Tancak
Kembar itu. Sepakat untuk meninggalkan kendaraan, kami pun berjalan mendekati
air terjun itu. Dan kami mendapatkannya, air terjun gersang tak berair, hanya
sedikit. Tubuh permukaannya terlihat kecil, tidak ada riuh gelombang yang
beradu naik turun untuk bisa sampai di dasar bebatuan hitam tak sejajar. Kemudian
saling pandang, yakin masih ada kejutan lain yang tersimpan, lalu berjalan
menelusuri jejak-jejak kaki yang meninggalkan bekas hingga sampai di dalam
kawah pepohonan rindang dan deru air sungai yang saling bersahutan satu sama
lain. Melewati sungai kecil itu, aku menyaksikan ada burung hantu yang berdiri
di atas pohon kering dan berbulu hijau lagi. Iqbal masih terpesona dengan hal
itu, kemudian memandang sekitar dan memutar akal yang malah ditinggal terbang oleh burung yang menjadi kilauan
cuci mata sekedar teman menikmati perjalanan.
“Waah, kita sampai
juga akhirnya Mas, itu air terjunnya kelihatan,” riuh gembira suara Iqbal
mengagetkan para petualang yang masih meniti bebatuan besar untuk bisa
menyebrang menikmati peraduan pohon dan bunga yang tumbang, jatuh.
“Iya, itu air
terjunnya kelihatan, beneran airnya deras tuh kayaknya,” Sontak Mas Adim
membenarkan perkataan Iqbal. Kami berempat, Aku, Fery, Alan, dan satu lagi yang aku tidak tau
namanya masih terus berjalan beriringan. Meski sambil jalan, Alan terus berfoto
ria mengabadikan setiap momen yang ia rasakan dengan meminta bantuan temannya
itu.
“Yees, yees,”
teriak Iqbal sambil memainkan tangan kirinya berlaga seperti orang yang baru
menang suatu kompetisi terbuka.
Kami mendekat,
ternyata benar, yang kami jumpai tadi adalah air terjun tipuan. Kami menyebutnya
air terjun jomblo karena mengalir tak deras dan tak pula menggiurkan. Seperti seseorang
yang kesepian ditinggal kekasihnya, aduh kasihan. Di tempat kami kini berdiri,
aku menyaksikan gumpalan air yang saling sapa satu arus dengan arus yang lain,
jatuh berurutan, saling berlomba untuk sampai di dasar bebatuan kecil tak terlihat
mungil. Walaupun di satu sisi yang lain, kembaran air terjun deras itu tidak
mengalirkan debit air yang sama, perlahan namun ada kehidupan di sana. Jurus-jurus
narsis itu sontak meminta izin untuk keluar, memahat namun tak perlu memanjat untuk
berpose mesra layaknya keluarga. Mulai dari kamera sederhana dengan menu biasa,
potrait dan landscape, hingga kamera antik dengan view panorama yang begitu
menggoda. Momen itu terabadikan. Sepertinya lelah dalam perjalanan dan kekecewaan
yang tadi sempat mendera ketika bertemu air terjun jomblo itu telah
terbayarkan, lunas. Lihat saja setiap mereka, tidak ada yang diam, semuanya
menikmati view cantik dari air terjun itu, indah! Bahkan keindahan itu akan
lebih terasa jika tiba di sana dalam momen bukan bulan puasa, hadir dengan
membawa tenda, perlengkapan memasak dan ikan segar yang tampaknya akan sangat
menggugah selera makan sambil menikmati sentuhan udara dingin dari percikan
setiap air terjun yang jatuh dengan pesona lembutnya. Tersadar dengan pasti
penuh keyakinan, alam Indonesia ini begitu menyuguhkan keindahan tak
tertandingi, banyak sekali bisa kita temui kekayaan dengan keindahan yang
berlimpah. –End_