Konflik antara China dan Taiwan menjadi isu yang sangat memprihatinkan
dunia internasional akhir-akhir ini khususnya bagi negara Asia Timur. Hal ini
dipertajam setelah adanya kunjungan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS, Nancy
Pelosi yang mengunjungi Taiwan pada Agustus 2022. Konflik China dan Taiwan ini
kembali memanas setelah sejumlah pesawat tempur China memasuki wilayah udara
Taiwan. Menyikapi situasi tersebut, Presiden Tsai Ing-wen mengambil langkah dan
menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan apapun untuk mempertahankan diri. Jauh
sebelum kunjungan Pelosi, hubungan China dan Taiwan memang sempat beberapa kali
memanas. Konflik antara kedua negara ini tidak terlepas dari perspektif China
yang menganggap bahwa Taiwan adalah bagian dari kedaulatan negaranya. Sementara
dari perspektif Taiwan, mereka tidak mengakui klaim tersebut dan menganggap
bahwa Taiwan adalah negara yang berdiri sendiri.
Menilik dari sejarah masa lalu, pada
tahun 1950 Taiwan mendeklarasikan diri menjadi sekutu AS dan ikut berperang
melawan Komunis China di Korea. AS juga pernah mengerahkan armada di selat
Taiwan untuk melindungi negara tersebut dari ancaman serangan China. Atas
kalkulasi kepentingan politik, AS kemudian melihat China menjadi Dewan Keamanan
PBB dan AS pun memutuskan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan China.
Tetapi, AS juga memiliki komitmen untuk membantu mempertahankan Taiwan. Sebab
bagi AS, Taiwan adalah mitra kerja sama ekonomi yang sangat strategis di
kawasan Asia. AS juga tercatat sebagai mitra Taiwan dalam bidang militer.
Hubungan China dan Taiwan terus
mengalami pasang dan surut. Setelah adanya kunjungan Pelosi, China mengerahkan
sejumlah pesawat dan menembakkan rudal ke arah Taiwan. Sebagai upaya untuk
mempertahankan diri, Taiwan juga mengerahkan jet untuk memberikan peringatan
kepada 22 pesawat tempur China yang melintasi garis tengah Selat Taiwan ke zona
pertahanan udaranya. Berkali-kali ditemukan ancaman penggunaan hard power terhadap upaya pemisahan diri
negara Taiwan atas China. Dalam hal ini, Taiwan dihadapkan pada permasalahan
besar terkait urusan dalam dan luar negeri jika ingin mendapatkan kedaulatan
yang penuh. Sebab, adanya prinsip teguh One
China Policy yang dipegang China memberikan dampak yang berakibat panjang
bagi usaha Taiwan untuk diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Konflik China dan Taiwan dapat
memberikan implikasi bagi stabilitas kawasan dan dapat lebih buruk daripada
invasi yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Pasalnya konflik antara kedua
negara ini melibatkan negara lain yakni AS. Konflik antara China dan Taiwan
yang secara jelas melibatkan AS dapat menjadi ancaman heksogen tetapi harus
tetap diwaspadai. Konflik China dan Taiwan dapat berdampak terhadap sektor
investasi dan perdagangan Indonesia. Sebab China dan AS merupakan mitra dagang
utama bagi Indonesia. Sehingga, gangguan dari salah satu atau kedua negara
tersebut sebagai akibat dari ketegangan antara China dan Taiwan dapat berdampak
terhadap neraca perdagangan Indonesia. China dan AS juga masuk dalam urutan 10
besar sebagai negara yang menyumbangkan investasinya di Indonesia. Jika AS
terindikasi kuat mendukung usaha Taiwan dalam melumpuhkan China, konflik negara
tersebut dapat menghambat iklim investasi Indonesia.
Hal yang menarik dari konflik kedua
negara ini adalah perkembangan agresivitas militer China setelah adanya Pakta
Trilateral AUKUS yang dikenal melibatkan Australia, Inggris, dan AS. Dunia
menilai bahwa agresivitas China di Selat Taiwan adalah sebagai upaya untuk
menegaskan posisi China yang menentang AUKUS dan penegasan bahwa Taiwan adalah
bagian dari Beijing yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana diketahui juga
bahwa China dan Taiwan adalah dua negara yang memiliki hubungan ekonomi yang
erat dan berada di kawasan Asia Pasifik. Sudah sangat jelas bahwa kedua ini
adalah sumber pendorong utama perkembangan sektor perekonomian di kawasan.
Analisis lain adalah mengenai prospek
pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik yang sangat dipengaruhi oleh demografi
dan produktivitas serta adanya bantuan dari ekonomi digital. Dapat dipastikan
bahwa konflik antara China dan Taiwan bukan hanya perihal permasalahan teritorial
belaka. Faktor dukungan ekonomi negara maju, dukungan digitalisasi, dan
pengaruh dari kebijakan beberapa negara di kawasan Asia Pasifik merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam kerangka konflik China dan Taiwan.
Hubungan yang sangat kompleks tidak
hanya terjadi antara China dan Taiwan, akan tetapi juga bagi AS. Termuat dalam
UU Relasi Taiwan bahwa AS tidak boleh terlibat dalam konflik militer Taiwan.
Akan tetapi hal yang menjadi unik bahwa AS boleh menawarkan bantuan dan
teknologi persenjataan kepada Taiwan agar mereka dapat membela diri jika
diserang. Hingga saat ini, Taiwan sudah mendapatkan pengakuan secara de facto berstatus sementara oleh 23
negara yang dari keseluruhan negara tersebut kebanyakan berasal dari Afrika,
Amerika Selatan, dan Pemerintah Vatikan di Roma. Pengakuan yang diperoleh
Taiwan diterima karena Taiwan yang memiliki kekuatan ekonomi di kawasan Asia
yang merupakan mitra strategis bagi banyak negara. Fakta lain adalah bahwa
Taiwan juga merupakan mitra dagang dan ekonomi dengan beberapa negara di
kawasan Eropa dan Asia Pasifik meski tanpa adanya pengakuan diplomatik.
China dengan kekuatan militernya
dianggap akan dengan mudah dapat menguasai Taiwan. Namun, jika agresi militer
China ke Taiwan terjadi, keberadaan Relasi Taiwan Act 1979 memberikan ruang
bagi AS untuk membantu Taiwan. Taiwan juga meminta bantuan Australia untuk
dapat meningkatkan kerja sama dalam bidang pertahanan keamanan dan intelijen.
Hal ini didasarkan bahwa Taiwan sangat sadar akan ancaman provokasi dan
konfrontasi China yang kian semakin meluas. Jika agresi militer China terjadi
dan melibatkan negara besar seperti AS dan Australia, maka hal tersebut dapat
mengancam perekonomian China yang saat ini sedang naik daun. Sisi lain, agresi
militer tersebut juga dapat berdampak terhadap perekonomian global. Mengingat
China dan AS adalah bagian dari kekuatan ekonomi global. Tentu saja kebijakan
ekonominya akan berpengaruh bagi perkembangan perekonomian internasional.