Selasa, 19 April 2022

Konflik Rusia dan Ukraina Perspektif Geopolitik

 Apa yang menjadi kekhawatiran dunia internasional kini terjadi. Setelah mengalami pergolakan panjang, Rusia akhirnya melakukan serangan militer terhadap Ukraina. Setelah sebelumnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy memberikan tanda-tanda serangan militer. Pada pernyataannya, Presiden Ukraina meminta kepada seluruh warga untuk menyanyikan lagu kebangsaan dan mengibarkan bendera pada Rabu 16 Februari 2022. Pasca kejadian tersebut, mulai 24 Februari 2022 Rusia akhirnya mengerahkan bala tentara mereka untuk menyerang sejumlah kota di Ukraina. Serangan senjata militer Rusia seperti membumi hanguskan sejumlah kekuatan militer milik Ukraina.

Seperti diketahui bahwa Vladimir Putin sudah berulang kali melakukan klaim bahwa Rusia dan Ukraina adalah merupakan satu wilayah. Bagi Rusia, wilayah yang saat ini dikenal sebagai Ukraina adalah bagian dari negaranya termasuk Belarusia yang dipahami Putin sebagai sebuah peradaban yang tidak terpisahkan. Sementara, Ukraina menolak klaim tersebut dan menyatakan bahwa Ukraina mengalami dua proses revolusi pada tahun 2005 dan tahun 2014. Dari kedua revolusi ini, keduanya menolak supremasi Rusia. Ukraina, justru mencari cara dan jalan lain agar dapat bergabung ke dalam Uni Eropa dan NATO atau yang dikenal luas sebagai Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Putin tidak setuju dengan usaha Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Mengingat bahwa NATO merupakan aliansi pertahanan keamanan yang sudah berhasil didirikan karena adanya pergolakan dan persaingan Blok Barat dengan Uni Soviet dan sekutunya setelah berakhirnya perang dunia kedua. Jika Ukraina bergabung ke dalam keanggotaan NATO, maka akan terjadi pergolakan kepentingan yang semakin panjang.

Konflik antara kedua negara ini sudah dikenal dan terjadi pada tahun 2014. Pada saat itu, Ukraina berhasil menjatuhkan kepemimpinan sosok presiden yang pro terhadap Rusia yakni Viktor Yanukovych. Berakhirnya Viktor menjadi penyebab konflik karena membagi Ukraina menjadi dua golongan antara yang pro Uni Eropa dan pendukung Rusia. Pada saat kekosongan kepemimpinan, Putin berusaha melakukan klaim atas wilayah Krimea dan mendukung penuh pemberontakan dari kaum separatis. Oleh banyak pengamat politik internasional, campur tangan Rusia atas wilayah Krimea ini didasarkan karena alasan kepentingan politik dan ekonomi. Mengingat bahwa Krimea memiliki letak yang cukup strategis dan dapat dimanfaatkan oleh Rusia sebagai alat untuk memperkuat hegemoni di kawasan Timur Tengah dan Eropa Timur. Konflik yang sudah terjadi sejak tahun 2014 ini seketika berubah menjadi perang panas yang juga oleh banyak kalangan disebut sebagai perang dunia ketiga.

Ketika konflik terjadi di tahun 2014, Ukraina dinilai lemah dari sisi pertahanan keamanan, sementara Rusia memiliki persenjataan yang lebih memadai. Namun, dalam invasi yang terjadi saat ini Ukraina dinilai jauh lebih siap dan kuat secara militer dengan dilengkapi ribuan relawan yang siap untuk mengusir separatis yang datang. Ukraina juga sudah membeli persenjataan canggih dari Barat dan Turki termasuk didalamnya ada Rudal Javelin yang terbukti dapat menghancurkan dan mematikan tank dari kelompok separatis. Termasuk adanya Drone Bayraktar yang terkenal sangat berpengaruh dalam perang yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan tahun lalu.

Terlepas dari permasalahan kekuatan militer, sebenarnya ada dimensi politik dan ekonomi yang menjadikan konflik ini semakin memanas. Hal ini terlihat dari usaha Putin yang berusaha mati-matian mengajak Ukraina untuk bergabung menjadi bagian dari Blok Perdagangan Bebas atau yang dikenal dengan Uni Ekonomi Eurasia yang sangat didominasi penuh oleh Pemerintahan Rusia. Adapun hal yang menjadi perhatian dalam Uni Ekonomi Eurasia adalah menyatukan beberapa negara bekas Republik Soviet yang secara luas dikenal sebagai langkah untuk menghidupkan kembali Uni Soviet.

Ukraina terkenal dengan hasil industri dan pertanian dan populasi sekitar 43 juta, Rusia berharap penuh bahwa Ukraina akan memenuhi permintaan untuk bergabung dalam keanggotaan tersebut. Akan tetapi, Ukraina justru menolak untuk bergabung menjadi bagian Uni Ekonomi Eurasia tersebut. Hal ini yang diyakini oleh dunia internasional sebagai penyebab dan pemicu konflik antara Rusia dan Ukraina yang berakhir dengan adanya invasi. Meskipun sebelumnya ekonomi Ukraina pernah tenggelam pasca pemutusan hubungan dengan Rusia sebagai mitra terbesarnya. Namun, beberapa tahun pasca konflik di tahun 2014, ekonomi Ukraina kian meningkat dan meroket yang kembali dipandang sebagai penyebab konflik ini muncul kembali ke permukaan di tahun ini.

Mengingat Rusia adalah negara dengan jumlah aliansi yang sangat diperhitungkan dalam konstelasi perpolitikan global karena aliansi strategisnya dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Hal ini dapat menjadi pijakan terkait perimbangan kekuatan baru dalam tatanan politik dan perekonomian global juga regional. Terkait krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, ada hal-hal yang menjadi perhatian untuk dapat dicermati bersama.

Terkait perpecahan suara dalam memandang perhormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah dari suatu negara pada negara-negara anggota PBB. Poin pertama ini memperlihatkan bahwa konsep kedaulatan yang diakui selama ini adalah tetap bergantung kepada perspektif kekuatan yang berkuasa dan dapat memutuskan hal tersebut secara sepihak. Permasalahan penyelesaian krisis yang diakui di dalam piagam PBB masih cenderung bias dan memihak. Beberapa bahkan banyak negara belum menyampaikan sikap dan posisi perpolitikan nasionalnya sehingga terkesan adanya dilema prioritas dalam kerangka hubungan bilateral dengan major powers yang terlibat dalam krisis antara Rusia dan Ukraina.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah terkait permasalahan keamanan dan perdamaian dunia. Seperti krisis dan konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini terlalu didominasi oleh negara besar yang bersikap tidak demokratis dan mengancam perdamaian dunia. Padahal kalau dilihat kembali, masing-masing negara tahu bagaimana prinsip perdamaian dunia yang terdapat di dalam piagam PBB. Termasuk peran yang diberikan negara berkembang hanya akan dinilai sebatas pemain figuran bukan aktor utama atau pemain kunci dalam menentukan sikap politik secara independen. Apalagi seperti Indonesia yang saat ini menjabat sebagai presidensi G20 yang sudah seharusnya Jokowi menentukan sikap politik atas konflik antara Rusia dan Ukraina.

Serta, resolusi dari PBB dapat digunakan bukan sebagai solusi, melainkan sebagai propaganda dari major powers untuk memudahkan tindakan pemerasan politik dan juga ancaman terhadap kepentingan ekonomi untuk kiranya dapat menekan negara anggota PBB menyetujui solusi apa yang ditawarkan oleh major powers. Dalam artian yang lebih luas, sebenarnya terdapat kecenderungan dari major powers untuk berusaha menjadi terlihat dominan di antara yang lain agar dapat melakukan dikte aturan yang mereka buat terhadap negara lain dan mengatur segalanya dalam tatanan perpolitikan global. Semua hal yang disebutkan di atas merujuk kepada konsep geopolitik yang menjelaskan hubungan antara faktor geografi, strategi, dan perpolitikan negara-negara di dunia. Konsep ini juga menjelaskan bahwa permasalahan strategis dalam pertarungan kekuatan antara negara dalam struktur sistem internasional.

 

 

 

 

 

 

 

Menilik Diplomasi Ekonomi Indonesia Terhadap Rusia dan Ukraina

Perubahan politik dunia memaksa banyak negara untuk memperhatikan hubungan diplomatik dengan negara lain. Terlebih lagi hubungan diplomatik ini berhubungan dengan pembangunan ekonomi nasional dan kelangsungan hidup suatu bangsa. Salah satunya adalah Indonesia. Sebagai negara berkembang dan negara dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia dipandang sebagai salah satu pemain besar dalam relasi ekonomi global dan juga diprediksi akan hadir sebagai kekuatan besar dunia sejajar dengan China, Jepang, Korea Selatan, India, dan Australia. Seiring dengan semakin kompleksnya kerja sama ekonomi, negara Indonesia sebagai negara berkembang dituntut untuk bisa meningkatkan kapabilitas dalam lingkup nasional dalam menangani ekonomi eksternal (Killian, 2012).

Dalam Forum Konsultasi Bilateral Indonesia – Rusia keempat yang diselenggarakan oleh Kemlu Indonesia pada tanggal 3 Maret 2021, kedua negara Indonesia –Rusia sepakat untuk menghilangkan hambatan perdagangan guna mencapai target volume perdagangan yang diharapkan yakni sebesar 5 miliar dolar AS atau sekitar 71,67 triliun. Indonesia juga menekankan pentingnya kemitraan strategis yang lebih berorientasi pada action oriented dalam memperkuat diplomasi ekonomi dan refocusing aktivitas kerja sama dalam mempererat hubungan kedua negara terutama yang berhubungan dengan pemulihan sektor ekonomi yang sempat terburuk akibat pandemi covid-19 (Rahma, 2021).

Bagi Rusia, Indonesia dianggap sebagai mitra yang sangat strategis di Asia Tenggara dan juga Asia Pasifik. Sebab Indonesia dipandang sebagai salah satu negara mendominasi di Asia Tenggara dan negara-negara dunia Islam. Terlebih lagi Indonesia saat ini sebagai nahkoda dalam presidensi G20. Indonesia juga membukukan surplus perdagangan yang sangat berpengaruh besar bagi Rusia. Di saat yang bersamaan, Rusia juga sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk memiliki zona perdagangan bebas di antara negara anggota Uni Eurasia. Rusia adalah satu negara yang berpengaruh di dalamnya. Pada tahun 2019, ada juga nota kesepahaman yang sudah ditandatangani antara Komisi Ekonomi Eurasia dan Indonesia. Tidak hanya Rusia, terdapat empat negara lain yang menjadi peserta Uni Eurasia. Rusia berharap tidak hanya terdapat perjanjian perdagangan bebas antara Rusia dan Indonesia, tetapi juga antara Uni Ekonomi Eurasia dengan Pemerintah Indonesia.

Sementara dengan Ukraina, invasi yang terjadi dan dilancarkan oleh Rusia juga memberikan pengaruh terhadap aktivitas perdagangan Indonesia –Ukraina. Pengaruh dari invasi yang terjadi di Eropa tidak hanya berpengaruh terhadap kawasan Eropa saja, tetapi juga dirasakan oleh kawasan lain. Indonesia terdampak dalam konteks aliran perdagangan. Seperti diketahui bahwa Indonesia dan Ukraina memiliki rekam jejak hubungan diplomasi ekonomi. Tercatat pada tahun 2020, total kegiatan ekspor dari Indonesia ke Ukraina adalah sebesar 3,2 triliun. Di sisi lain, total kegiatan ekspor dari Ukraina ke Indonesia adalah sebesar 10.5 triliun. Terlihat bahwa Indonesia tergantung dari komoditas ekspor dari Ukraina, begitu juga sebaliknya.  

Lima komoditas utama yang diekspor dari Indonesia ke Ukraina adalah lemak dan minyak hewani, kertas dan kertas karton, alas kaki, karet, dan tembakau. Masing-masing angka ekspor berkisar di 179, 8,307, 4,873, 4,280, dan 4,185 juta dolar AS. Sedangkan lima komoditas ekspor dari Ukraina ke Indonesia adalah sereal, besi dan baja, gula, produk industri penggilingan, dan produk optik. Masing-masing berkisar di 546, 162, 9,620, 5,493, dan 1,840 juta dolar AS. Kerja sama Indonesia dan Ukraina juga dipastikan tidak terganggu dengan adanya ketegangan antara Rusia dan Ukraina. Hal tersebut dikonfirmasi langsung oleh Pejabat Fungsi Pensosbud Kedutaan Besar Indonesia di Ukraina. Bahkan Indonesia dan Ukraina akan terus berupaya untuk merayakan kerja sama bilateral kedua negara yang sudah terjalin sejak lama (Ahmad, 2022).

Bagi Indonesia, Rusia dan Ukraina bisa disebut sebagai mitra dagang dan investasi. Meski tertinggal jauh dari neraca perdagangan dengan negara-negara di Asia Tenggara, kemitraan Rusia dan Ukraina bagi aktivitas perdagangan dan diplomasi ekonomi tergolong ke dalam mitra strategis. Menilik bahwa dalam aktivitas diplomasi ekonomi Indonesia dengan negara lain terdapat tiga kluster untuk pengelompokan negara mitra. Mitra strategis bermakna hubungan dan aktivitas diplomasi ekonomi memainkan peranan penting dalam pencapaian kepentingan luar negeri. Dalam artian kemitraan penting, berarti hubungan dan aktivitas kedua negara memainkan peranan penting tetapi bukan merupakan kunci dalam pencapaian kepentingan nasional. Sedangkan kemitraan biasa berarti hubungan kedua negara berperan minimal atau tidak sama sekali dalam pencapaian kepentingan kedua negara (Sabaruddin, 2016).

Namun, jika dilihat dari invasi Rusia ke Ukraina ternyata tidak berpengaruh signifikan bagi aktivitas perdagangan Indonesia. Mengingat bahwa selain Rusia dan Ukraina, masih banyak daftar negara lain yang masuk ke dalam kluster kemitraan strategis dan penting. Seperti Tiongkok, Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Jepang, India, Australia, Jerman, Thailand, Korea Selatan, Belanda, Polandia, Argentina, dan Kolombia.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, asumsi utama dalam aktivitas diplomasi ekonomi sepatutnya dapat memberikan prioritas kepentingan ekonomi daripada kepentingan politik. Hal itu disebabkan karena dengan kekuatan ekonomi pada kenyataannya lebih dapat menopang keamanan dan pertahanan yang mumpuni untuk bisa meningkatkan bargaining power dan relative power. Maka, penguatan diplomasi ekonomi seharusnya dapat menentukan tiga arah kebijakan luar negeri (Wangke, 2015). Penguatan diplomasi maritim dalam menjaga kedaulatan Indonesia di mata dunia, peningkatan peran dan pengaruh Indonesia sebagai negara middle power, dan penguatan kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

Permasalahan mengenai invasi Rusia ke Ukraina ini berhubungan dengan peningkatan peran dan pengaruh Indonesia sebagai middle power di mata dunia. Artinya, fokus Indonesia dalam hal ini adalah bagaimana aspek penting dari diplomasi ekonomi Indonesia adalah untuk meningkatkan kerja sama dalam bidang perdagangan, investasi, dan pariwisata (Nawawi, 2018). Meski kedua negara ini termasuk ke dalam mitra kluster strategis, Indonesia harus bisa melakukan pemetaan dengan mencari alternatif lain agar perekonomian nasional tidak terganggu oleh adanya konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.

 

Daftar Rujukan

Daniel, Ahmad. 2022. KBRI Pastikan Kerja Sama Indonesia dengan Ukraina Tak Terdampak Konflik diakses melalui laman https://dunia.tempo.co/read/1561512/kbri-pastikan-kerja-sama-indonesia-dengan-ukraina-tak-terdampak-konflik pada tanggal 21 Maret 2022

Killian, Erza. 2012. Paradigma dan Problematika Diplomasi Ekonomi Indonesia. Jurnal Global Strategis Vol 6 (2).

Nawawi, Imam. 2018. Sejarah Nalar Diplomasi Politik Indonesia di Kawasan Timur Tengah. Jurnal Millati Vol 3 (1).

Rahma, Athika. 2021. Indonesia dan Rusia Sepakat Tak Saling Menghambat Perdagangan diakses melalui https://www.liputan6.com/bisnis/read/4499015/indonesia-dan-rusia-sepakat-tak-saling-menghambat-perdagangan pada 21 Maret 2022

Sabaruddin, Sulthon Sjahril. 2016. Grand Design Diplomasi Indonesia; Sebuah Pendekatan Indeks Diplomasi Ekonomi. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol 12 (1).

Wangke, Humprey. 2015. Tantangan dan Peluang Diplomasi Ekonomi Presiden Joko Widodo. Jakarta: Azza Grafika.

 

 

Responsibility to Protect dan Intervensi dalam Konflik Rusia dan Ukraina

 Responsibility to protect merupakan suatu konsep yang dikenal dalam studi hubungan internasional. Hal ini berhubungan dengan kedaulatan negara yang dipertaruhkan dan kestabilan dunia internasional. Sehingga, dipandang perlu untuk melakukan intervensi kemanusiaan dengan dalih bahwa tanggung jawab atas nama kemanusiaan adalah tanggung jawab masyarakat internasional untuk dapat mengambil tindakan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan menolak sikap negara yang bertindak semena-mena dan mengganggu keamanan internasional.

Fokus dari R2P ini adalah untuk mengetahui perdebatan antara kedaulatan negara yang disandingkan dengan hak asasi manusia. Sehingga, para pendukung konsep ini berasumsi bahwa R2P adalah cara yang paling baik untuk melindungi manusia dari kepunahan. R2P juga dikenal sebagai kedaulatan rakyat yang sudah dikukuhkan dan disahkan oleh PBB menjadi norma internasional. Alasan sederhana dari pendekatan ini adalah untuk mengurangi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dianggap sebagai sebuah solusi yang sangat tepat untuk mencegah konflik internasional yang bersifat laten dan menimbulkan banyak korban jiwa.

Jika melihat kembali pasal 2 ayat 4 piagam PBB, ada alasan yang jelas mengapa suatu intervensi diperbolehkan. Tindakan intervensi yang dimaksud dalam piagam PBB ini adalah yang berhubungan dengan intervensi kemanusiaan. Parameter yang dapat digunakan dalam kasus intervensi kemanusiaan setidaknya harus mengacu kepada tiga hal. Pertama, negara gagal dalam melindungi warga negaranya karena adanya perang saudara atau pembunuhan massal. Maka, kondisi tersebut yang membenarkan negara lain dapat melakukan intervensi kemanusiaan. Kedua, kesadaran kemanusiaan. Bila di suatu negara terjadi pembubuhan massal, perbudakan massal, dan peledakan yang menimbulkan terjadinya kematian besar, maka kondisi tersebut yang membenarkan suatu negara melakukan intervensi kemanusiaan. Ketiga, intervensi kemanusiaan diambil sebagai jalan akhir. Bila semua jalan damai telah dilakukan tetapi masih gagal, maka intervensi menjadi pilihan terakhir.

Alasan lain dari intervensi kemanusiaan adalah untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negara. Tindakan intervensi dalam rangka melindungi hak dan kepentingan warga negara ini sangat berhubungan dengan R2P. Negara memiliki tanggung jawab atas warga negaranya baik yang berada di negara sendiri atau pun sedang berada di negara lain. Batasan tanggung jawab tersebut dalam hal intervensi adalah selama masih didasarkan pada deklarasi HAM PBB di antaranya melindungi hak-hak individu dan sosial. Di samping faktor dan parameter yang sudah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa alasan lain untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Pembelaan diri merupakan alasan lain mengapa suatu negara dapat diintervensi. Intervensi ini dibutuhkan ketika terjadi serangan bersenjata terhadap negara anggota PBB. Hal ini sesuai dengan isi pasal 51 piagam PBB yang menyatakan bahwa negara anggota PBB berhak melakukan pertahanan diri dari serangan bersenjata. Adapun yang menjadi syarat dilakukannya pembelaan diri adalah situasi yang mendukung, tidak ada cara lain, tidak ada waktu untuk menimbang. Secara sederhana, kedaulatan negara harus dan dapat dibangun di atas konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab.

Sebagai negara besar yang memiliki sebutan negara super power, AS sering kali melakukan intervensi ke negara lain. Intervensi yang dilakukan AS baik secara politik, ekonomi, dan militer sudah banyak terjadi. Tidak hanya dalam kasus invasi Rusia terhadap Ukraina, tetapi juga isu lain seperti dinamika politik dan ekonomi di Asia Pasifik, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Tentu, intervensi yang dilakukan AS ini bukan tanpa tujuan dan kepentingan politik. Salah satu hal penting yang ingin disampaikan AS kepada negara di dunia adalah bahwa AS ingin tetap diakui sebagai negara besar yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang tidak diragukan. Porsi tidak diragukan ini yang ingin diproyeksikan AS kepada dunia internasional. Salah satunya adalah dalam konflik antara Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung sejak lama.

AS sejak memenangkan perang dingin dari Uni Soviet, merasa menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia. Padahal jika dilihat secara jelas, Uni Soviet yang ketika itu kalah dan kini menjadi Rusia juga telah bertransformasi menjadi salah satu kekuatan besar di dunia. Buktinya, dalam konflik ini ada banyak resolusi yang diupayakan tetapi tetap saja dianggap gagal karena Rusia menggunakan hak vetonya di PBB. Rusia kini berubah menjadi negara yang besar dan memiliki persenjataan nuklir serta menjadi ancaman nyata bagi AS. Hal yang sama juga terjadi dengan China. Pada saat yang sama, kemajuan ekonomi dan militer China juga menjadi ancaman nyata bagi AS dengan segala kepentingan politiknya.

Dalam konteks konflik antara Rusia dan Ukraina, keberadaan dan keterlibatan AS adalah bentuk dari hegemoni negara tersebut agar dapat mengambil keuntungan dari kedekatan terhadap Ukraina. Bagi AS, ketidakstabilan Ukraina adalah keuntungan tetapi AS juga berharap Ukraina tidak jatuh ke tangan Rusia. Bagi Uni Eropa alasan ekonomi adalah wujud nyata mengapa Uni Eropa mendukung Ukraina. Sementara, bagi NATO alasan keamanan adalah alasan utama.  

Intervensi lain yang terdapat dalam konflik Rusia dan Ukraina adalah intervensi dari institusi supranasional yang dianggap dapat mengatasi ketegangan dan konflik antar negara. Intervensi ini juga dijelaskan dengan pendekatan R2P. Fokus dari intervensi ini adalah intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional dalam mencegah tindakan pembunuhan massal dan tindakan genosida. Pendekatan ini digunakan dengan melihat kesesuaian antara isu yang saat ini berkembang dengan penjelasan yang dideskripsikan oleh konsep. Kasus Rusia dan Ukraina ini dapat digolongkan dalam bentuk kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam implementasinya, pendekatan ini mewakili hukum yang memberikan kuasa secara yurisdiksi terhadap komunitas internasional untuk dapat melakukan intervensi. Sedangkan mekanisme dari R2P ini ada tiga yakni forceful intervention, peaceful negotiations, dan consensual interventions.

 

Daftar Rujukan

Yanuar, Haviz. 2015. Legalitas Intervensi Rusia Terhadap Ukraina (Studi Kasus Krimea). Belli ac Pacis Vol 1 (2).

Azzanela, Lutfhia Ayu. 2022. Mengapa Amerika Serikat Terlibat di Perang Rusia dan Ukraina diakses melalui https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/04/070000265/mengapa-amerika-serikat-terlibat-di-perang-rusia-dan-ukraina diakses tanggal 23 Maret 2022.

Puspasari, Indah. 2020. Peran Uni Eropa Sebagai Institusi Supranasional dalam Krisis Ukraina 2014-2019. Jurnal Global Policy Vol 8 (1).

 

Sanksi Australia Bagi Belarusia dan Isu Kedaulatan Ukraina

Krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina terus memberikan dampak dalam jangka yang panjang. Poin utama dari konflik ini adalah bagaimana konsep kedaulatan negara harusnya diakui oleh banyak pihak dan tidak ditentukan oleh adanya status negara maju atau negara berkembang. Penyelesaian krisis juga seharusnya diselesaikan dengan mematuhi asas dan norma hukum internasional tanpa adanya bias dan kepentingan sepihak atau beberapa pihak yang terlihat mendominasi. Hal lain yang kini menjadi perhatian dunia adalah saling menjatuhkan sanksi antara Rusia dengan beberapa negara besar yang dianggap sebagai pemain dominan dalam penyelesaian konflik antara Rusia dan Ukraina. Dalam hal ini terdapat sikap negara majors power yang ingin terlihat lebih dominan dan melakukan dikte dalam tatanan politik global (Alunaza, 2022).

Setelah AS menjatuhkan sanksi kepada Rusia, kini Australia juga turut menjatuhkan sanksi kepada Belarusia karena dinilai telah membantu Rusia dalam invasinya terhadap Ukraina. Sanksi ini tidak hanya diperuntukkan bagi Presiden Belarusia saja, Alaxander Lukashenko, tetapi juga kepada segenap keluarganya. Keluarga Lukas juga mendapatkan sanksi dari Australia karena memegang jabatan pada sektor penting yakni keamanan nasional dalam tatanan pemerintah Belarusia. Belarusia dilansir telah memberikan dukungan strategis kepada Rusia dan juga kepada pasukan militernya. Hal tersebut mengakibatkan mengikisnya kedaulatan dan integritas yang dimiliki oleh Ukraina. Dalam pernyataan Kementrian Luar Negeri Australia menyebutkan bahwa sanksi juga mengincar 22 warga Rusia yang disebut-sebut sebagai propagandis dan agen informasi. Mereka yang masuk ke dalam daftar 22 warga Rusia ini adalah editor senior outlet Media Rusia, Yayasan Budaya Strategis, dan NewsFront.

Australia juga memastikan bahwa pihak yang mendukung Rusia dengan tanpa alasan rasional terhadap invasi ilegal yang telah dilakukan Rusia terhadap Ukraina akan membayar dengan harga yang sangat tinggi. Seperti diketahui sebelumnya bahwa Rusia didukung penuh oleh Belarusia untuk memantapkan invasi terhadap Ukraina. Belarusia dituding telah membantu mempersiapkan unit tempur untuk mendukung Rusia yang dilengkapi dengan ribuan tentara untuk menyerang Ukraina.

Konflik antara Rusia dan Ukraina ini berbuntut panjang. Sebab masing-masing negara memiliki pendukung dan aliansi kerja sama internasional yang tidak sedikit. Bagi negara pendukung Rusia, amat sangat mudah mendukung dan menjatuhkan sanksi ekonomi bagi negara yang tidak mendukung Rusia. Sementara, di sisi lain, ada banyak majors power baru yang membantu menjaga kedaulatan dan integritas negara Ukraina. Sehingga, tidak hanya Rusia dan Ukraina yang berkonflik secara nyata. Banyak negara pendukung kedua kubu juga sesungguhnya sedang berkonflik karena memberikan dukungan bagi masing-masing negara. Bagi negara berkekuatan besar, tidak sulit untuk mendapatkan dukungan apalagi jika memiliki kendali penuh dalam sektor militer dan ekonomi. Tetapi bagi negara berkembang, harus benar-benar mempertimbangkan alasan spesifik mengapa harus mendukung atau tidak mendukung dengan alasan kepentingan politik dan ekonomi menjadi konsekuensi lain dari sebuah dukungan dalam konflik Rusia dan Ukraina.

Jika kembali ke dalam kajian hubungan internasional, ada berbagai pendekatan yang kemudian dapat digunakan untuk menganalisis sanksi yang diberikan oleh Australia kepada Belarusia. Salah satu pendekatan yang menjadi perhatian penting dalam konflik Rusia dan Ukraina adalah realisme klasik dan juga neorealisme (Prayuda & Sundari, 2019). Mengusung kejayaan dari struggle for power and security sehingga kondisi anarki internasional adalah salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan. Segala cara kemudian dilakukan oleh negara untuk melindungi kepentingan politik. Sebab negara selalu menjadi aktor tunggal, sehingga dalam menjelaskan hubungan antara negara yang berdaulat dilihat dari kepentingan politik yang diusung.

Dalam pendekatan realisme fokus pada dimensi politik dan keamanan. Hal itulah yang menjadi alasan bahwa untuk menjelaskan kekuasaan diperlukan adanya kekuatan sebagai instrumen dari politik luar negeri. Meski tidak dapat dijelaskan secara spesifik posisi dan hierarki dari kekuatan yang mendominasi, namun bagi pendukung paham realisme, hubungan internasional itu pada intinya adalah konfliktual dan dapat diselesaikan dengan adanya perang. Maka, jika melihat sikap yang diproyeksikan Australia kepada pendukung Rusia adalah dengan mengambil sikap terbaik dalam melindungi kepentingan politik dari suatu tindakan rasional yakni pragmatis. Sementara bagi Belarusia dukungannya kepada Rusia dalam invasi ke Ukraina adalah sikap kompromis dan saling menerima.

Selain itu, guna melancarkan misi struggle for power, dibutuhkan adanya kerja sama pertahanan dengan negara lain untuk dapat menghentikan adanya tekanan dari negara lawan. Apa yang dilakukan oleh Belarusia adalah bentuk kerja sama dengan Rusia untuk mendapatkan dukungan balik atas sanksi yang diberikan oleh Australia. Tentu, kerja sama ini dipengaruhi oleh adanya lingkungan atau yang dikenal dengan diplomacy setting. Lingkungan dalam kondisi konflik seperti Rusia dan Ukraina ini dapat dijelaskan dengan satu kunci khusus, yakni sistem internasional yang anarki.  Hakikat dari sistem internasional yang anarki telah menciptakan sebuah setting tersendiri bagi kepentingan politik negara yang terlibat dalam hubungan diplomatik tertentu. Dengan menggunakan kekuatan tertentu, negara lain mencoba untuk memudahkan agenda politik luar negeri mereka dengan alasan pencapaian kepentingan politik negara mereka di atas kepentingan politik negara lain. Sebab dalam hal ini tidak adanya batasan otoritatif dalam menyelesaikan konflik tertentu.  

Sementara isu terkait kedaulatan dan integritas Ukraina kembali menjadi perhatian dunia sebab damai dan kehidupan normal adalah tujuan dari diadakannya negosiasi yang akan berlangsung di Turki sejak 28-30 Maret 2022. Hal tersebut ditekankan langsung oleh Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Baginya, kedaulatan dan keutuhan wilayah adalah isu yang sangat strategis dan akan terus diperjuangkan. Tentu jaminan keamanan yang efektif bagi seluruh warga Ukraina adalah hal penting yang harus terus dipenuhi. Tujuan dari negosiasi di Turki ini diprediksi akan menjadi babak baru bagi perdamaian dunia dan pemulihan kehidupan normal di Ukraina. Hal tersebut juga didukung penuh oleh Presiden Turki, Tayyip Erdogan. Erdogan juga sudah menghubungi Putin secara terpisah dan menekankan pentingnya gencatan senjata di Ukraina.

Dari sisi Rusia, mereka bersedia untuk mengakhiri invasi jika Ukraina bersedia menjadi negara netral dan tidak menjadi bagian dari NATO. Termasuk mengakui Krimea merupakan bagian dari Kremlin demiliterisasi dan denazifikasi di bagian timur Ukraina. Sementara bagi Ukraina, mereka akan terus memperjuangkan hal yang menjadi bagian dari kedaulatan negaranya. Meskipun terdapat wacana referendum Krimea, Donetsk, dan Luhansk.

Sementara bagi Australia, sanksi ekonomi terhadap Belarusia merupakan salah satu bentuk proyeksi dari pengaruh kehadiran kekuatan besar terutama di kawasan Asia Pasifik. Mengingat Australia merupakan salah satu negara yang berdampingan dengan AS, Rusia, China, Jepang, dan India dalam menyebarkan pengaruhnya di kawasan. Australia hadir untuk membendung hegemoni China dan Rusia yang melibatkan India dalam mengembangkan strategi kawasan untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing negara tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Australia merupakan pendonor lama yang berusaha dihalau oleh China sebagai pendonor baru dalam kerangka kerja sama trilateral di kawasan Asia Pasifik. Seperti Jepang yang sejak tahun 2010 telah membentuk haluan baru pertahanannya untuk membendung kekuatan militer China di Pasifik. Hal itu diwujudkan dengan menjalin kerja sama strategis dengan AS untuk menjamin keamanan kepentingan nasional mereka. Tidak hanya itu, Jepang juga berusaha meningkatkan kesejahteraan dengan memanfaatkan adanya transfer teknologi dan modal kepada negara-negara sedang berkembang di kawasan Pasifik.

 

Sumber Rujukan

Suselo. 2016. Pengaruh Kehadiran Kekuatan Militer Negara Besar. Jurnal Kajian Lemhannas Vol 25

Prayuda & Sundari. 2019. Diplomasi dan Power. Journal of Diplomacy and International Studies.

Alunaza, Hardi. 2022. Konflik Rusia dan Ukraina dalam Perspektif Geopolitik. Diakses melalui laman https://reviewnesia.com/articles/1645931602-konflik-rusia-dan-ukraina-perspektif-geopolitik pada tanggal 28 Maret 2022

 

 

Peran AS dalam Gencatan Senjata Rusia dan Ukraina

 Krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina menjadi buah diskusi panjang banyak negara di dunia. Salah satu yang menjadi perhatian banyak kalangan baik akademisi maupun praktisi hubungan internasional adalah Amerika Serikat. pasalnya banyak pihak yang kemudian mempertanyakan sikap dan reaksi dari Amerika Serikat atas invasi yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Panca invasi yang terjadi lebih dari dua pekan, Jerman akhirnya menolak untuk bergabung dengan Amerika Serikat dan juga Inggris dalam proses pengiriman senjata kepada Ukraina. Atas sikap ini, Jerman khawatir bahwa akan terjadi konflik yang lebih lama dan ketegangan yang dapat berpotensi mempersulit proses negosiasi untuk mengakhiri konflik panjang antara Rusia dan Ukraina.

Kebijakan Luar Negeri Jerman dipandang bernilai dan lebih berani karena dapat memutuskan kebijakan terhadap isu gerakan militer Rusia dalam melawan Ukraina. Jerman dan sekutunya sedang di atas panggung kekuasaan dunia yang berusaha lepas dari ajakan tidak jelas yang disebutkan oleh pemimpin Rusia. Pihak yang menjadi pemangku kepentingan dan kebijakan Jerman melakukan perdebatan atas usul Amerika Serikat terkait pemberian bantuan militer terhadap Ukraina. Pemerintah Jerman siap mendukung terciptanya perdamaian dengan melakukan dialog serius. Sebab diplomasi adalah satu-satunya cara yang dianggap layak untuk dapat meredakan invasi dan terciptanya negosiasi gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina.

Sementara dari sisi Amerika Serikat dan Inggris, kedua negara ini sudah memastikan akan mengirimkan lebih banyak pasokan senjata dan persediaan tink-tank. Senator Amerika Serikat bahkan telah berkunjung ke Ukraina dan memastikan bahwa pasokan senjata yang dikirim akan lebih banyak. Setelah sebelumnya Rusia juga menuduh bahwa Ukraina memiliki senjata biologis yang didanai oleh Amerika Serikat. Menurut Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Rusia memang kerap kali mencoba menuduh negara lain atas pelanggaran yang dilakukan oleh Rusia itu sendiri.

Di tengah invasi yang sedang berlangsung, Amerika Serikat meminta Israel untuk bersikap tegas terhadap Rusia. Mantan Duta Besar PBB untuk NATO, Victoria Nuland menginginkan agar negara-negara dengan sistem demokrasi di dunia bersatu dan memberikan sanksi yang tegas terhadap invasi yang dilakukan Rusia. Hal yang menjadi sanksi bagi Rusia adalah terkait sanksi ekonomi dan ekspor yang dipandang perlu untuk diberikan dan dijatuhkan kepada Rusia. Sejauh ini, Israel belum memberikan sikap tegas dan mendukung AS dalam mendukung Ukraina. Akan tetapi, Israel masih dipandang berusaha memberikan sikap yang netral atas sikap politis negaranya dalam isu invasi Rusia ke Ukraina. Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Wendy Sherman menjelaskan bahwa tampaknya Presiden Rusia Vladimir Putin tampak mulai goyah dengan banyaknya negara di dunia yang berusaha untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Efek tekanan tersebut dipandang sebagai tekanan yang paling serius bagi Putin untuk dapat melakukan negosiasi perdamaian.

Jika diteliti dengan baik, AS memiliki dua kepentingan dalam invasi Rusia ke Ukraina. Mendukung Ukraina dengan segala cara yang mungkin dan dapat dilakukan seperti pemberian bantuan pasokan senjata keamanan yang bernilai 1,2 juta dolar AS. Alokasi dana tersebut dipandang dapat sangat membantu Ukraina untuk dapat melawan invasi yang dilakukan oleh Rusia. Kedua, alasan lain adalah untuk dapat menekan Presiden Putin untuk segera melakukan gencatan senjata dan mengakhiri invasi. Sebab bagi AS, Putin sendiri yang memutuskan untuk melakukan invasi yang tanpa didasari alasan yang jelas mengapa mereka menyerang negara yang berdaulat seperti Ukraina.

Sudah dapat dilihat bahwa pengaruh dari kekuatan AS berdampak bagi banyak negara yang ‘bersembunyi’ di balik status kekuatan besar dari AS. Demi melancarkan tujuan pertama, AS bersedia berkoalisi dengan banyak negara yang juga atas dasar perdamaian dunia memberikan dukungan terhadap Ukraina. Meskipun dalam proses pencapaian usaha tersebut, banyak negara yang terlihat dilema antara memberikan secara penuh dukungan terhadap Ukraina atas bersembunyi di balik status negara adidaya yang dimiliki oleh AS. Dampak dari adanya proses pemberian bantuan dan sanksi yang diberikan oleh AS dan koalisinya adalah dengan tampak semakin goyahnya Presiden Rusia Vladimir Putin untuk kemudian memilih jalur negosiasi untuk dapat ditempuh sebagai jalur terakhir agar konflik antara Rusia dan Ukraina dapat diakhiri dengan proses damai.

Tidak hanya negara koalisi AS yang mendapatkan dilema atas konflik berkepanjangan yang menarik perhatian banyak dunia ini. Invasi dan tekanan yang diberikan banyak negara juga memberikan dilema bagi Presiden Rusia, Vladimir Putin. Pasalnya, keinginan untuk menghancurkan Ukraina dan kekuatannya menjadi sedikit terhalang karenanya banyaknya tekanan yang diterima oleh Putin termasuk hal yang berhubungan dengan sanksi ekonomi yang siap dijatuhkan oleh banyak negara terhadap aksi invasi Rusia terhadap Ukraina. Tekanan demi tekanan pasti memberikan efek dan dampak tersendiri bagi terciptanya jalur negosiasi sebagai alternatif terbaik untuk memperoleh damai. Namun, banyak pihak juga dapat menilai bahwa Putin adalah sosok yang keras dan bersikeras dengan apa yang diinginkan tanpa memperhatikan dampak yang muncul dari keinginannya tersebut.

Rusia dan Ukraina diketahui telah menyatakan beberapa opsi untuk dapat melakukan negosiasi. Banyak pihak, termasuk AS berharap bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina dapat berhenti dan memperoleh kesepakatan kompromi. Pada tanggal 9 Maret 2022, Rusia mengumumkan gencatan senjata sementara di Ukraina. Hal ini adalah sebagai alternatif agar masyarakat sipil yang terkepung diberikan kesempatan untuk melarikan diri. Sementara bagi banyak negara Barat yang dipimpin oleh AS ingin merilis tekanan baru bagi Rusia.

Dalam perkembangan terbaru, AS sempat melarang impor minyak yang berasal dari Rusia. Sementara dalam perkembangan terbaru ini, Uni Eropa belum menjadi bagian dalam larang tersebut. Namun, Komisi Uni Eropa juga mengatakan bahwa ada kemungkinan bagi mereka untuk mengurangi penggunaan bahan bakar hingga dua pertiga tahun ke depan. Menyusul Uni Eropa, Pemerintah Inggris juga memberikan pernyataan untuk menghentikan impor minyak dari Rusia pada akhir tahun 2022. Sanksi lain yang akan dijatuhkan terhadap Rusia dan Belarusia adalah berupa larangan terhadap tiga bank Belarusia dari sistem perbankan SWIFT akan memberikan tambahan lebih banyak oligarki serta beberapa politisi dari Rusia masuk dalam daftar hitam Uni Eropa.

AS juga mengklaim bahwa dana yang diberikan berupa bantuan dana kemanusiaan terhadap Ukraina adalah bantuan dana kemanusiaan terbesar dalam kurun delapan tahun terakhir. Bantuan ini juga diklaim tersebar melalui organisasi kemanusiaan yang bersifat independen, netralitas, dan berdasarkan kemandirian. Dengan bantuan ini, diharapkan organisasi kemanusiaan internasional dapat lebih mendukung rakyat Ukraina. Termasuk bekerja sama dengan pemerintah Ukraina dan beberapa negara sekutu serta negara mitra Eropa di garis terdepan dalam menghadapi setiap krisis kemanusiaan yang terjadi. AS beserta Uni Eropa juga menjatuhkan sanksi berupa larangan bagi anggota parlemen Rusia. Sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia mengincar sektor keuangan dan pejabat senior di negara Rusia.

Untuk Segala Lebih dan Kurangmu, Kami Rindu (Ibu)

Tak seorang pun dalam hidup ini yang sangat kuat. Semua orang pasti pernah merasakan kesedihan, tapi terkadang dia mampu untuk berpura-pura tersenyum (anonim).

Pontianak tiba-tiba hujan beberapa hari terakhir. Deras sekali. Bahkan orang-orang sampai mengeluh. Pun tentang aku yang hari ini sedang merindukan almarhumah Ibu. Puasa pertama tanpa sosok seorang Ibu. Berat tapi ini bagian dari hal yang tidak bisa dihindarkan. Takdir Allah.

Biasanya kalau ada Ibu, selalu ada yang telpon minta cepat diisikan pulsa. Minta dikirimi uang untuk ini itu. Aku kira kehilangan almarhum Bapak adalah kesedihan yang sangat mendalam. Ternyata kehilangan sosok Ibu justru seperti kiamat. Jalan tol menuju surga yang sudah pergi jauh dan tidak akan kembali. Aku rindu sekali sosok Ibu. Meski mungkin kami sering berselisih, tapi aku sangat menyayangi Ibu. Aku tau, baktiku sebagai anak belum banyak untuknya. Karena di 5 tahun terakhir, aku sibuk dengan urusan kerjaan. Sementara Ibu jauh di rumah. Itulah sakitnya menjadi seorang perantau.

Setelah lulus, aku tau Ibu juga menyimpan banyak harap untuk anaknya ini. Seperti was-was melihat anaknya yang belum menemukan pekerjaan. Pernah juga dua kali aku ikut seleksi beasiswa, Ibu memberikan lampu merah. Artinya aku tidak akan lulus tanpa ridhonya. Alasannya simple sekali. Aku masih sendiri alias belum menikah kala itu. Ketakutan Ibu mungkin benar. Untuk seorang anak lelaki yang lajang akan sangat berbahaya jika melanjutkan pendidikan doktor berdurasi 3-4 tahun tanpa keluarga.

Sementara dari sisi aku yang masih dalam proses bertumbuh, masa-masa memutuskan untuk menikah, melanjutkan kehidupan di Pontianak yang jauh dari orang tua adalah keputusan sulit. Pun ditambah lagi setelah dua tahun pernikahan kami dikaruniai putri kecil. Adalah masa sulit untuk mengurus anak, bekerja dengan 3 profesi sekaligus dalam satu waktu, memberikan seluruh tenaga yang dimiliki demi anak dan istri. Jangankan untuk berleha-leha, buat ngurus diri sendiri aja kadang udah kurang waktunya. Itu yang aku benci dari proses bertumbuh, ketika aku hampir matang menjadi dewasa, ada Ibu yang semakin hari semakin menua. Berat sekali membayangkan proses ini. Karena tidak ada satu pun anak yang ingin hidup jauh dari orang tuanya.

Biasanya Ibu telpon, “Hari ini Ibu beli pecel untuk menu berbuka. Di sana buka puasanya pake apa? Atau kadang sekedar mengeluhkan kaki Ibu yang sakit. Termasuk sering Ibu mengabarkan perihal baru diantar berobat oleh anaknya yang ini dan yang itu. Tidak jarang Ibu juga mengeluh karena baru dimarahi oleh anak-anaknya. Aku yang merasa mengurus satu anaknya seperti kaki di kepala, kepala di kaki sulitnya, apalagi jika aku membayangkan Ibu. Sulit? Jelas.

Apalagi kami sekandung ada tujuh bersaudara dengan satu anak perempuan yang sangat baik. Kakak perempuanku adalah permata Ibu. Anak perempuan yang nomor 3 tapi dewasa dan bijaknya melebihi anak pertama. Meski sudah menikah, dia masih punya waktu untuk hampir setiap hari menjenguk Ibu di rumah. Membelikan Ibu beras, minyak, dan perlengkapan dapur lainnya. Maka tidak jarang kalau kakakku ini jauh lebih sukses dari yang lain. Baktinya untuk Ibu luar biasa. Bahkan sampai Ibu berpulang, baktinya tidak pernah kurang. Kadang aku merasa iri sekali padanya, tak jarang juga malu. Iri karena bakti yang sangat luar biasa. Malu karena sebagai anak laki-laki yang sudah menikah, aku justru tidak terlalu dekat dengan Ibu.

Aku bangga sama Ibu. Mengurus tujuh anak dengan sangat lihai. Bangga yang tidak pernah tergantikan oleh apapun. Alasan untuk segala bahagia dan sakit yang pernah dialami Ibu di dalam perjalanan hidupnya sampai ia berpulang. Ya, Ibu pasti bangga punya anak begini begitu, sebagai sumber bahagia. Pun juga Ibu pasti kadang sedih karena anaknya begini karena anaknya begitu, sebagai sumber nestapa dalam hidupnya.

Aku tau menjadi seorang Ibu seperti Ibuku sangatlah tidak mudah. Delapan tahun ditinggal Almarhum Bapak dan Ibu hidup seorang diri di rumah. Sedangkan anaknya hanya beberapa bulan singgah, kemudian melanjutkan hidup di rantau untuk bersekolah. Hidup sendiri selama sebulan saja sudah sangat sepi, apalagi sampai bertahun-tahun lamanya. Kadang aku bertanya, apakah Ibu tidak takut tinggal sendiri di rumah. Ibu justru mengatakan bahwa hidup sendiri sudah menjadi keharusan. Bahkan Ibu sudah tidak takut bangun sendiri larut malam. Mungkin yang ada di pikiran Ibu adalah perihal menjalani sisa hidup tanpa harus mengeluhkan banyak hal.

Seperti kata pepatah, secinta apapun dengan pasangan, kelak kita akan dipisahkan oleh kematian. Sebaik dan seburuk apapun yang kita kerjakan, kelak semua akan mendapatkan balasan. Perjalanan kisah hidup orang tua kami sudah membuktikan itu semua. Banyak harta yang dimiliki Bapak, itu tidak menemani beliau di liang lahat. Begitu juga Ibu. Maka mungkin petuah terbaik adalah dengan menjadi dermawan. Sebab amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak amal sholeh lah yang kelak akan menjadi pahala tanpa terputus.

Tapi jujur, aku merasa Ibu masih ada. Tiap kali buka hp dan memandang fotonya aku seperti tersadar, Ibu masih ada di sekitar kami. Seperti sulit percaya Ibu sudah pergi dan tidak sakit lagi. Hanya bisa berusaha menerima kepergian Ibu dan semoga dimudahkan segala hisab, diampuni segala dosa, dan kami yang masih tertinggal bisa menjadi petuah untuk kebaikan-kebaikan yang sudah Ibu ajarkan.

Kebahagiaan dalam hidup ini adalah perihal mencintai dunia, bagaimana pun bentuknya. Berharap mendapatkan cita dan harapan sekuat apapun berusaha untuk mendapatkannya. Dicintai dan mencintai orang yang kita sayangi. Serta segala hal yang kita harapkan bisa kita dapatkan di dunia ini.

Sedihnya, kita tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menolak takdir. Perihal jodoh, rejeki, dan kematian. Termasuk segala hal yang membuat kita sedih, kecewa, terluka. Itulah takdir Allah.

Ibu, kami merindukanmu. Untuk segala lebih dan kurangmu. We love you.  

Krisis Hubungan Diplomatik Meksiko – Ekuador

Krisis diplomatik antara Meksiko dan Ekuador yang baru saja terjadi merupakan peristiwa yang memperlihatkan kompleksitas hubungan antarneg...